Karena Kau Sahabat

Anda Sedang membaca

Karena Kau Sahabat

SEMOGA BERMANFAAT
Karangan : Tutut Setyorinie Facebook : Tutut Setyorinie Cerpen Karangan Tutut Setyorinie Lainnya
Karya Tutut Setyorinie

Sahabat

“Apa ini, Key?” tanya Nessa yang sedang berada di rumah sohibnya, Keyla.
“Ini adalah negeri mimpi. Dimana semua mimpi-mimpi langsung menjadi nyata.” jawab Keyla yang masih asyik mengotak-atik handphone yang ia genggam sejak tadi.
“Hah yang benar saja kamu. Memang gimana ciri-ciri negeri mimpi itu?” Nessa tampaknya masih penasaran tentang hal yang barusaja ia dengar, walau sebenarnya ia masih tak percaya akan semua ini. Terlebih karena Keyla sering berkhayal tentang sesuatu yang belum pasti adanya.
“Tempat yang begitu indah, tenang dan damai. Hehe..” ucap Keyla sambil menggerakan tangannya seakan menjabarkan keindahan tempat itu.
“Apa kamu pernah kesana?” tanya Nessa
“Ya, aku sering kesana. Disana adalah tempatku untuk bermimpi supaya dalam dunia menjadi nyata.”
“Oh ya? Memang itu dimana?”
“Sebenarnya negeri mimpi itu berada di otak manusia masing-masing. Disana berjuta mimpi tercipta, disana pula mimpi-mimpi semakin nyata.”
“Ah kamu ada-ada saja Key.”
“Oh iya, apa kamu masih yakin, Ibu mu masih hidup disana?”
“Yakin banget Nes!” Keyla berucap mantap seakan tak ada keraguan yang tampak dari sorot matanya
“Tapi kan, nggak ada yang selamat dari gempa itu. bukannya aku ngecewain kamu. Tapi.. Cobalah, kamu terima realita yang ada.” tambah Nessa
“Nessa, kenapa kamu selalu membahas tentang itu. Kamu itu sahabat aku Nes, seharusnya kamu dukung aku dong. Aku selalu bermimpi, dan mimpiku mengatakan bahwa ibuku masih hidup disana. Aku yakin itu, Nes.” Keyla menaikan nada bicaranya.
“Keyla! Kamu emang sahabatku. Tapi kamu harus tau, aku benci mimpi. Aku benci khayalan. Hidup itu realita Key. Pikirlah secara logis, yang dapat diterima nalar. Khayalan itu.. Khayalan itu cuma angan-angan yang dapat membuat kita jatuh karena ngaak bisa untuk menggapainya.” Nessa bersikeras mempertahankan argumennya.
“Sudahlah! Aku memang hidup dalam mimpi. Tapi mimpiku selalu menjadi nyata. Itu yang membuat ku percaya pada semua mimpi-mimpi.” Keyla memalingkan wajahnya dari Nessa, untuk mencoba mencari sedikit ketenangannya.
“Kalau kamu memang benci mimpi, aku nggak bisa melarang. Tapi, waktu akan membuktikan bahwa ibuku itu masih hidup!” lanjut Keyla dalam setengah isakannya.
Memang begitu sulit menyatukan 2 orang yang benci terhadap mimpi dengan orang yang selalu hidup dalam mimpi dalam satu ruang persahabatan. Tapi, dengan kuasa Tuhan yang telah mentakdirkan merekan menjadi sepasang sahabat yang saling mengisi. Walau perbedaan terlihat jelas dalam presepsi hidup mereka.
Ya, perbedaan memang tak dapat dipungkiri dari setiap persahabatan. Tapi, itulah yang membuat persahabatan menjadi penuh warna.

Malam menjemput. Rintik hujan menemani kesunyian malam itu. Tapi, Nessa tetap saja belum bisa tidur, walau detak jam telah menunjuk angka 23:50. Ia masih memikirkan ucapannya tadi. Ia merasa takut, jika ucapannya itu akan menyakiti sekaligus meretakan mimpi sahabatnya itu.
Hatinya terus bergejolak. Ia masih terus berusaha menutup kedua katup matanya. Tapi, ia masih tak bisa. Mungkin karena rasa sayang Nessa terhadap sahabatnya itu terlampau besar. Jadi ia begitu gelisah, jika sedikit saja melukai hati sahabatnya.

Pagi-pagi sekali, Nessa menghampiri rumah kediaman Keyla. Berharap Keyla masih berada disana. Karena ia ingin sekali mengucap maaf pada sahabatnya itu.
“Tok-tok-tok !!” Pintu itu bergetar kuat akibat ketukan tangan Nessa.
Tak ada jawaban. Nessa mengetuknya sekali lagi. Kali ini, ia mengetuk lebih kuat daripada sebelumnya, hingga kaca jendela yang berada disampinya pun ikut bergetar juga.
Tapi.. Lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya Nessa melangkahkan kaki dengan lemas menjauhi rumah Keyla. “Mungkin Keyla sudah berada di sekolah.” gumam Nessa disela kepasrahannya.

“Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin Key. Aku benar-benar tak bermaksud untuk mengucapkannya.” Ucap Nessa yang masih memandang ke arah bawah, mencoba mencari sesuatu yang dapat membuat objek perhatiannya.
“Iya, lagian juga aku udah memaafkannya. Tapi, kenapa kamu begitu benci dengan mimpi? Mimpi itu indah menurutku.” Ucap Keyla yang masih sibuk membolak-balikkan komik yang dipegangnya erat
“Ya.. Aku juga ga tau. Aku begitu benci terhadap mimpi. Terhadap semua khayalan dan angan-angan. Aku benci terhadap semua hal yang nggak pasti.”
“Tapi kan, mimpi itu harapan. HIdup perlu harapan bukan?”
“Ya mungkin.. Tapi..”
“Cobalah bermimpi Nes! Aku yakin, hidupmu lebih bewarna dengan semua mimpi-mimpi.” Keyla masih membujuk Nessa.
“Entahlah. Yang penting, aku sebagai sahabatmu. Aku akan mendukung mimpimu, bahwa ibumu masih hidup.” ucap Nessa dengan semangatnya.
“Terima kasih Nes.” Keyla memeluk Nessa dengan kasih sayang nya yang begitu tulus sebagai seorang sahabat.

Jam berdentang sempurna. Mengalunkan kenangan kisah penuh suka duka. Menjabarkan keindahan yang dibalut rasa persahabatan. Sahabat.. Sahabat itu selalu ada, ketika orang lain tak ada padamu. Sahabat itu selalu mampu, mendekapmu dalam kesepian, melindungimu dalam cemoohan dan mengukir indah senyum di bibirmu.
Sahabat itu orang yang selalu kita remehkan tapi sebenarnya kita tak mampu melalui hari tanpa seorang sahabat. Sahabat itu orang yang selalu mengerti masalah kita tanpa pernah kita ucap. Ia selalu mengulurkan tangannya di saat kita terjatuh, walau terkadang ego kita mengalahkan nurani untuk tidak menerima uluran tangannya. Sahabat.. walau tak bisa kita pungkiri, kita sering melukai sahabat, tapi sahabat tetap mampu mengobati lukanya sendiri dan tidak menunjukkan pada kita karena ia takut kita merasa bersalah. Itulah Sahabat.

Fajar menampakkan diri. Mengiringi sang raja siang keluar dari peraduannya. Menjatuhkan embun yang ‘kan membasahi tanaman. Menebar oksigen segar yang siap dihirup jutaan jiwa.
Begitu indah Tuhan menciptakan alam semesta ini, sama indahnya Tuhan menciptakan rasa saling menghargai, menyayangi dan melindungi dalam suatu kata yang disebut persahabatan.
“Kamu kenapa murung gitu Nes?” tanya Keyla sambil menekuri halaman demi halaman dari Koran yang masih melekat kuat di tangan kirinya.
“Ngg..” Nessa berusaha berucap tapi Keyla lebih dulu memotongnya.
“Nessa, lihat!” ucap Keyla sambil memperlihatkan berita yang baru saja ia baca dari korannya.
“Seorang wanita ditemukan selamat dari reruntuhan gempa di Balikpapan.” Nessa mengeja berita yang ditunjukkan Keyla.
“Kamu lihat, Nes! Itu pasti ibuku. Ayo kita berangkat kesana.” Keyla langsung menarik tangan Nessa yang masih berusaha mencerna kalimat yang baru saja ia baca.
“Udah.. Ayo!”

Akibat gempa dahsyat yang melanda kota Balikpapan 1 minggu yang lalu, rumah sakit ini jadi penuh sesak. Para kerabat dan sanak keluarga berdatangan mengisi lorong-lorong kosong di rumah sakit ini. Berharap saudara mereka masih selamat dari gempa itu.
Banyak korban berdatangan silih berganti. Naasnya korban itu tak lagi bernyawa. Hanya duka dan isak tangis yang menjadi harapan mereka yang masih belum menemukan sang saudara.
Begitu berbeda dengan Keyla. Seorang anak yang masih mengenakan seragam putih biru, yang begitu percaya dengan kekuatan mimpi.
Mimpi dan terus bermimpi, ibunya kan kembali lagi ke sisinya seperti dulu kala. Dan mimpi itu menjadi nyata. Ibu dari Keyla menjadi satu-satunya korban gempa yang selamat sampai saat ini. Hatinya begitu bahagia. Ia semakin percaya pada kekuatan mimpi-mimpinya.
“Ibu.. Aku kangen banget sama ibu.” Keyla memeluk ibunya yang masih berselang infus di hidungnya.
“Ibu juga kangen sama kamu, nak.” Sang ibu pun melepas rindunya pada anak semata wayang nya ini.
“Eh.. ada Nessa. Makasih ya Nes, selama ini kamu pasti sudah jagain Keyla.”
“Iya sama-sama tante” Hati Nessa pun seakan lega juga, walau sebenarnya pilu sedang menyerang lubuk hatinya.

Suara burung yang bersahut-sahutan mengiringi kepulangan sang raja siang ke Singgasana nya. Memaparkan cahaya senja dengan degradasi warna sempurna. Daun-daun kecil itu pun mengatup, seakan tahu, kan datang malam yang begitu temaram.
Tapi.. Dibalik itu semua, linangan air mata tengah menghiasi pipi tirus Nessa. Sejak ia melihat nama ayahnya terpampang sebagai salah satu korban dari kecelakaan pesawat yang jatuh terbakar di pedalaman hutan Kalimantan, Kristal bening itu tak henti-hentinya mengalir dari kedua pelipis matanya.
Ia seakan tak percaya akan semua yang telah terjadi padanya. Memang begitu pahit rasanya untuk menelan berita yang telah memecahkan airmatanya itu.
“Ibu.. Kenapa harus ayah yang menjadi korban? Kenapa ngga aku aja? Kenapa bu?..” ucap Nessa disela isakannya.
“Nessa sudah nak. Kita memang hanya bisa berharap dan berdo’a. supaya Tuhan melindungi ayahmu.” jawab sang Ibu yang berusaha menenangkan hati anaknya yang sedang bergejolak itu.
Kini isakan Nessa semakin keras, hingga air matanya mampu menyapu seluruh wajah nya.
“Kalau aku yang jadi korban disana, pasti ayah akan menolongku. Tapi, kenapa ayah yang harus jadi korban. Sedangkan aku gak bisa menolong ayah.” Nessa masih saja menyalahkan dirinya. Ia bahkan ingin merubah Takdir yang sudah terlanjur terjadi padanya.

Angin malam menerpa tubuh Nessa yang begitu kelelahan karena hampir menangis sepanjang hari. Wajahnya pun terlihat sembab. Bibirnya terlihat pucat. Seperti tak ada lagi semangat yang tertanam dalam jiwanya.
“Sudahlah Nes. Jangan menangis lagi.” Keyla berusaha menenangkan hati sahabatnya itu.
“Ya tapi aku gak bisa tenang, Key. Ayahku itu..” ucap Nessa yang terpotong karena isakannya yang kembali menyeruak dari bibirnya.
“Aku mengerti.” Keyla memeluk Nessa. Ia seakan begitu tahu perasaan kalut yang sedang menerpa hati Nessa. Ia pun sengaja berbungkam. Membiarkan sang sohib mengutarakan semua kegelisahan padanya.
“Nessa apa kamu tau, keajaiban yang telah terjadi pada ibuku? Ya! Itu mungkin bisa terjadi pada ayahmu. Aku sangat percaya pada kekuatan mimpi. Cobalah impikan ayahmu menjadi seperti yang kamu mau.” Ucap Keyla yang masih membujuk Nessa mempunyai mimpi.
“Tapi apa dengan begitu, itu semua kan menjadi nyata?” tanya Nessa yang tampaknya kurang percaya pada ucapan Keyla tadi.
“Setau aku, mimpi itu sebuah harapan. Walaupun mimpi hanya sekedar imajinasi. Tapi hanya itu yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan.”
Nessa masih belum angkat bicara. Mungkin karena ini akan membuatnya menjadi seorang pemimpi. Ya! Suatu hal yang begitu ia benci dalam hidupnya.
“Ayolah, Nes! Hilangkan ego mu. Bermimpilah. Mimpi itu selalu nyata Nes. Lihat, disana pasti ada sebuah cahaya harapan yang dapat menuntun kamu mewujudkan inginmu.”
“Ingatkah, bila ‘Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa.’” ucap Keyla sambil menyanyikan sebuah lirik lagu.
Nessa menggangguk pelan. Satu senyuman pun berhasil terukir di wajah Nessa. Separuh semangatnya telah kembali dari diri seorang sahabatnya. Memang benar, Sahabat selalu mampu mengubah air mata menjadi senyuman!

Nessa pun berusaha bermimpi. Jika memang ini kan membuatnya menjadi seorang pemimpi, tak apalah. Ini demi ayah dan sahabatnya. Harapan pun teruntai dari fikirannya. Merangkainya menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang ia buat untuk pertama kalinya. Mimpi yang dulu ia begitu benci, kini ia mampu untuk melakukannya.

“Nessa, cepat lihat nak.” Ibu memanggil Nessa untuk segera melihat berita yang baru saja ia baca.
“Ada apa bu?”.
“Ayah.” Nessa melihat nama ayahnya yang terpampang jelas sebagai salah satu korban yang selamat di sisi koran yang ia baca.
“Ibu, ayo kita kesana.” Ucap Nessa dengan mata berbinarnya. Hatinya penuh bunga. Ternyata mimpinya menjadi nyata.

Dengan langkah cepatnya Nessa berusaha menemukan nomor ruang yang ditempati ayahnya. Ia sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan ayahnya.
“Ayah…” Nessa menghampiri ayahnya yang sedang terkulai lemah di atas ranjang dengan selang yang cukup banyak melekat di tubuh ayahnya.
“Ayah, bangun. Ini Nessa sama ibu udah dateng.” Ucap Nessa yang hampir mengaliri air matanya lagi.
“Ne..s..ssa” sang Ayah pun sadar. Ia berusaha berucap, walaupun ucapannya masih terbata.
“Ayah.. Nessa kangen sama ayah.”
“A..yah ju..g.a ka..nge.n sa..ma. kamu.. na..k” sang Ayah pun memeluk Nessa.
“A.ya..h me..nya.yangi..mu nak, ja..ga i..bu da..n adi..k mu ya. Ma..af ay..ah gak bi..sa me.ja..ga ka..li.an la..gi” ucap sang Ayah sambil berlinang air mata.
“Ayah ngga boleh ngomong gitu. Ayah harus kuat, ayah harus temani aku lagi.”
Ya, saat itu juga sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya dipelukan Nessa. Seketika terbayang harapan yang ia ukir dari mimpinya kemarin
“Ya Tuhan
Izinkan aku untuk memeluk ayahku kembali
Jika memang waktunya telah habis, aku akan ikhlas merelakan kepergiannya dalam pelukanku.”

“Keyla, terima kasih ya, sudah memperkenalkan aku dengan mimpi. Sekarang aku percaya pada kekuatan mimpi. Mimpi itu benar menjadi nyata, jika kita betul-betul mengingikannya. Mungkin jika aku memimpikan ayahku akan selalu ada untukku dan selalu berdiri di sampingku untuk lebih lama lagi, itu mungkin kan jadi kenyataan juga. Sayang, aku hanya memimpikannya ia hanya memelukku saja.”
Keyla pun tersenyum pada Nessa.
“Kini aku siap menjadi seorang pemimpi!” ucap Nessa dengan mantapnya.
Ya, kini tak ada lagi keraguan dalam hatinya untuk menjadi seorang pemimpi. Walau pembuktian itu begitu pahit ia rasakan. Tapi, dirinya telah yakin, untuk menjadi seorang pemimpi sejati.

Sahabat.. Sahabat itu ternyata begitu berpengaruh besar dalam hidup kita. Sahabat bisa mengubah benci menjadi suka. Sahabat bisa mengubah air mata menjadi tawa. Sahabat pun bisa mengubah ketidakpastian menjadi kepastian, bahwa ia kan selalu ada disamping kita untuk meyakinkan apa yang menurutnya benar, melarang apa yang menurutnya itu salah, dan selalu memberi cahaya dalam kebuntuan, menuntun kita pada sebuah cita-cita yang selalu kita harapkan.

END

Nb : Mimpi disini bukan mimpi di siang bolong yaa, Mimpi disini seperti sebuah harapan.

^ Happy Reading ^

Cerpen Karangan : Tutut Setyorinie
Facebook : Tutut Setyorinie

Permintaan Terakhirku

Anda Sedang membaca

Permintaan Terakhirku

SEMOGA BERMANFAAT
Karangan : Tutut Setyorinie Facebook : Tutut Setyorinie Cerpen Karangan Tutut Setyorinie Lainnya
Karya Tutut Setyorinie

Permintaan Terakhirku


“Happy birthday Mega.. Happy birhday Mega.. Happy birthday, Happy birthday Happy birthday Mega.”
Terdengar suara dari balik pintu. Dengan sigap ku alihkan pandanganku menuju ke arah pintu. Seketika mataku berbinar, seolah tak percaya akan semua ini.. kulihat Arfan, Vella, Bunga dan Dista menghampiri ku sambil membawa sebuah kue kecil berhias lilin angka 17. mereka semua tersenyum menatapku, seakan menanamkan seungguk kekuatan pada diriku.
“Happy birthday my dear.” ucap Arfan seraya mengecup keningku, kurasakan kehangatan telah masuk ke dalam lubuk hatiku.
Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku dan perlahan kubuka mulutku. Butiran air mata telah membendung di pelupuk mata ini. ‘Kenapa? Kenapa untuk berbicara saja aku tak bisa? Kenapa untuk membalas ucapan Arfan saja aku tak mampu?’ keluhku.

Aku memang hanya seorang gadis cacat yang sejak kecil telah di diagnosa mengidap penyakit yang mematikan. Aku memang hanya mampu tertidur di ruang suram ini, ditemani infus yang selalu tertancap dalam di tangan kiriku.
‘Ya Tuhan.. kapan aku bisa bangun dari tempat tidur ini? Kapan aku bisa melepas semua alat-alat asing yang sudah semakin menusuk tubuhku? Kapan aku bisa berhenti menelan butiran obat-obat pahit itu?’
Tak terasa air mata ini telah mengalir deras membasahi pipiku. Arfan pun menghapus air mataku. “Mega kamu jangan sedih. Aku gak mau kamu sedih di hari istimewa ini, sayang.” ucapnya dengan nada lembut. Tetapi aku belum mampu menghentikan tangisan ini.
‘Tuhan mengapa engkau kirim orang sebaik Arfan untukku? Arfan tak pantas untuk seseorang gadis cacat sepertiku? Cintanya terlalu berharga untukku. Aku tak mampu membalas cintanya, Tuhan.’
“Udah dong jangan pada nangis. Kaya nonton film drama aja. Hehe.. Oke sekarang waktunya tiup lilin” ujar Bunga menyadarkanku.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga…”
Nyanyian itu terdengar sangat nyaring ditelingaku. Bahkan mampu membentangkan senyumku.
“Make a wish, Mega” teriak Vella.

Aku tersentak, perlahan ku pejamkan mata. ’Tuhan terima kasih engkau telah mengirimkan orang-orang yang sangat sayang padaku. Aku tidak meminta banyak. Aku hanya minta, kau panjangkan umurku, ya Tuhan. Izinkan aku untuk membahagiakan orang-orang yang selama ini telah membahagiakanku. Izinkan aku untuk sembuh. Aku ingin lebih lama menghirup udaraMu bersama teman-temanku. Bersama Arfan. Aku ingin lebih lama berada di samping Arfan. Aku ingin terus menatap senyumnya. Kabulkanlah sebuah permintaan sederhana ini Tuhan. Dan mungkin ini kan jadi permintaan terakhirku.’

Tak lama, pandanganku mulai buyar. Dadaku terasa sangat sesak, seperti tak ada ruang untuk bernapas. Dan akhirnya semuanya menjadi gelap dan sangat gelap.

Samar-samar ku lihat Arfan dan teman-temanku sedang duduk cemas di balik ruang UGD ini. Dan disampingnya, kulihat sebuah kue yang lilinnya tadi belum sempat ku tiup. Tubuhku terasa sangat lemas bahkan aku tak sanggup menghapus butiran air mata yang telah menghujani pipiku. Aku hanya bisa diam membisu, menatap wajah lelaki berseragam putih itu sedang menancapkan alat-alat asing ditubuhku.
Nafasku mulai terasa sesak kemabali. Mungkin inilah akhir dari cerita hidupku.
’Maafkan aku teman-teman. Maafkan aku Arfan. Mungkin memang Tuhan tidak mengizinkan ku untuk hidup lebih lama lagi. Terima kasih, karena kalian telah menggoreskan tinta indah di dalam hidupku. Membuat hidupku lebih bermakna.
Selamat tinggal semua.’

Cerpen Karangan : Tutut Setyorinie
Facebook : Tutut Setyorinie
Terima kasih ya.. udah meluangkan waktunya untuk membaca cerpen ini. *Happy Read*

Pertemuan Singkat Dihatle Bus

Anda Sedang membaca

Pertemuan Singkat Dihatle Bus

SEMOGA BERMANFAAT
Karangan : Tutut Setyorinie Facebook : Tutut Setyorinie Cerpen Karangan Tutut Setyorinie Lainnya
Karya Tutut Setyorinie

Pertemuan Singkat Dihatle Bus

Setiap pagi ku langkahkan kaki dengan ceria menuju Halte Bus dimana akan ada bus yang membawaku ke tempat kuliahku. Ditemani sinar sang mentari dan semilir angin di pagi hari.

Ku merasa sesak tinggal di kota metropolitan ini, asap kendaraan mengudara dimana-mana. Sudah jarang ku temui pepohonan nan rimbun disini. Aku hanya melihat tanaman layu yang mungkin telah dibuang oleh pemiliknya. Sungguh miris.
Anak-anak jalanan pun memulai aksinya. Dengan semangat yang membara, Ia mengitari satu persatu kendaraan yang sedang berhenti dengan nyanyian yang cukup menghibur walau nadanya masih terbilang hambar.
Sampai pandanganku tertuju pada seorang lelaki tampan yang memakai jas almamater nya dan menenteng sebuah tas jinjing. Ku perhatikan seluruh pakaiannya dari atas hingga bawah. Sungguh sempurna.

Baru kali ini aku melihat lelaki sesempurna ini. Sialnya aku ketahuan sedang memperhatikannya, Ia menatap ku dengan tatapan bingung dan langsung tersenyum padaku. “Aa.. Indahnya senyum itu.” gumamku. Aku membalas senyumnya dan langsung tertunduk malu. Tetapi tak lama Ia langsung menaiki bus yang sejak tadi Ia tunggu. Seketika Ia telah menghilang dari hadapanku. Aku merasa separuh jiwa ini telah pergi bersamanya. Tapi, kali ini aku berusaha tersenyum tegar. “Masih ada hari esok. Mungkin Ia akan menunggu bus di halte ini lagi.”

Suara klakson mini bus yang kutunggu sejak tadi telah mengagetkan lamunanku. Langsung saja ku percepat langkah untuk menaiki mini bus itu. Jika tidak, bisa-bisa aku tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri memegang lingkaran hitam lepek selama perjalanan.

Di dalam bus, aku masih saja memikirkan lelaki tadi. Tampaknya aku tak dapat melupakan begitu saja senyumnya yang menawan. Besok aku harus menemuinya!

Pagi ini masih sama dengan pagi yang kemarin. Sebelum ku langkahkan kaki menuju Halte Bus, aku sempat menenggakan segelas air putih untuk meredakan dahaga.
Kali ini, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Karena ku ingin menatap senyum lelaki itu lebih lama lagi. Dengan hati yang berbunga-bunga ku lewati berbagai liku perjalanan ini. Kini, tak ku rasakan lagi, sesak karena asap-asap kendaraan. Sekejap asap itu berubah menjadi kabut putih yang menyelimuti pagi. Suara klakson dari kendaraan yang sedang berlalu lalang pun berubah menjadi nyanyian merdu sang bidadari. Pepohonan yang sedang layu pun bagaikan tumbuhan emas yang di tanam di istana raja, begitu lebat dan rindang.

Ku pandangi seluruh orang yang ada di Halte Bus ini. Tetapi belum juga kutemukan sosok lelaki yang ku cari. “Ah! Mungkin saja Ia belum datang. Kan aku yang sengaja datang terlalu pagi” gumamku.

Setelah menunggu kira-kira 20 menit. Aku belum juga menemukan lelaki itu. Senyum manis yang sedari tadi ku kembangkan perlahan berubah menjadi senyum kecut yang hambar. Mataku telah lelah menggeliat ke seluruh orang-orang yang sedang berkelebat di halte bus ini.

Tak lama, mini bus bewarna jingga menghampiri ku. Rasanya berat sekali melangkahkan kaki dari Halte bus ini. Tapi aku tak punya waktu lagi, karena jam bewarna merah muda yang melingkar di tanganku telah menunjukkan pukul 07:15. Itu artinya 15 menit lagi kuliah pagi akan dimulai.

Ku duduk dibangku depan bus. Ku pandangi jendela yang ada disebelahku dengan tatapan kosong. Tapi.. betapa terkejutnya aku, ternyata lelaki yang kutunggu sejak tadi, baru saja tiba di Halte itu.
Rasanya aku ingin turun lagi dari mini bus ini. Tapi bus ini sudah jalan cukup jauh dari Halte itu. Ku lirik jam tanganku kembali. Aku hanya bisa menghela napas panjang dan menenangkan hatiku.

Seminggu telah berlalu. Aku tak pernah menemui sosok lelaki itu lagi. Aku sangat kecewa. Ku langkahkan kaki menuju ke Halte Bus biasa. Kakiku terasa sangat lelah untuk berjalan. Aku hanya bisa tersenyum kecut pada setiap orang yang ku lalui di sepanjang jalan.
Harapan untuk bertemu dengan lelaki itu pun telah kupendam dalam-dalam. Hari ini jalanan terlihat cukup lega. Mungkin karena hari ini hari libur. Aku terduduk di sebuah kursi yang memanjang di sekitar Halte ini. Mataku terfokus pada Mini Bus bewarna jingga itu. Tak perduli lagi orang-orang yang berkelebat di sekitar sini.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dengan bertopang dagu. Perlahan kubuka mataku. Jantungku serasa berdetak 10x lebih cepat dari biasanya, karena ku lihat lelaki yang dulu ku tunggu duduk disampingku. Aku menarik napas panjang.
“Aku tak kan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia sudah berada dihadapanku. Aku harus berkenalan dengannya” gumamku sambil mengumpulkan lagi semangat yang dulu membara.
“Hai.” Ucapku padanya.
Ia langsung tersenyum kaget. Ia menatap ku. “Hai juga” balasnya.
“Kenalkan, aku Viona. Emm, kamu siapa?” ucapku gugup sambil menyodorkan tanganku padanya.
Ia meraih tanganku seraya berkata “Saya Alif”
Aku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin padanya. Setelah cukup lama aku berbincang dengannya, akhirnya kami bertukar nomor telepon. Sungguh bahagia aku, kali ini.

Setelah menyelesaikan tugas kuliah, tiba-tiba handphone ku berdering. Tanda ada sebuah pesan masuk.

From : Alif
To : Viona
Message :
Vi, kamu lagi apa?
Bisakah kau menemuiku di taman dekat persimpangan jalan?
Ada yang aku mau bicarakan denganmu.

Aku langsung bergegas meninggalkan rumah. Aku berjalan menuju tempat yang Alif perintahkan. Senyumku terus mengembang, walaupun tubuhku sedikit kelelahan.
Aku sudah melihat Alif di sebrang jalan. Ia sedang memesan minuman yang ada di pinggir jalan raya. Ku percepat langkah kakiku. aku ingin bertemu dengannya, karena telah 4 hari ini aku tidak melihatnya di Halte.

Mataku menggeliat ketika melihat sebuah mobil xenia melaju dengan kecepatan tinggi. Aku langsung menuju ke arah kerumunan orang. Aku benar-benar tak percaya. Ternyata Alif dan seorang pedagang itu yang telah menjadi korban pengendara mobil yang biadab. Seluruh tubuh Alif berlumuran darah. Tanpa terasa air mataku telah mengalir deras.
Mobil ambulan kini telah datang untuk mengangkut Alif dan penjual minuman tadi. Aku ikut bersama mobil itu. Ku bersihkan wajah Alif yang masih berlumuran darah itu dengan tissue. Air mataku belum juga mengering.
“Alif. Bangun” kata itu selalu kuucap selama perjalanan menuju ke rumah sakit sambil kuguncang-guncang tubuhnya. Tetapi, Alif tak kunjung sadar.

Matahari telah tenggelam di ufuk barat. Perlahan gelapnya malam mulai menjalar ke seluruh langit. Bintang-bintang mulai bersinar ditemani sang Bulan. Angin malam pun telah menusuk kulitku. Tapi aku belum beranjak dari sini. Aku akan menunggu sampai dokter keluar dari kamar Alif dan mengatakan bahwa Alif akan baik-baik saja.

Setelah kira-kira menunggu 20 menit. Akhirnya dokter itu pun keluar dari kamar Alif dengan wajah lelah. Aku pun langsung menghapirinya.
“Dok, bagaimana keadaan teman saya? Apakah Ia baik-baik saja?” ucapku lirih.
“Saya telah berusaha melakukan yang terbaik untuk teman anda. Tetapi luka diotaknya cukup parah. Sepertinya Ia tak akan bertahan lama, kecuali ada keajaiban yang datang padanya.” balas dokter itu.
“Apa saya boleh masuk ke dalam dok?” ucapku lagi
“Ya, tentu. Tadi saya menemukan ini di dalam kantong bajunya” ucap dokter itu sambil menyerahkan secarik kertas coretan dan handphone Alif.
Dengan langkah yang berat. Aku masuk menuju kamar Alif. Ku duduk disamping pembaringan Alif dan ku buka kertas itu. Ini memang hanya sebuah coretan milik Alif. Tetapi aku menemukan namaku ‘Viona’ terpampang di paling atas. Aku berusaha memahami tulisan Alif yang tak begitu jelas. Perlahan kubaca kata-kata itu.

Viona.
Aku tak tau rasa ini muncul entah darimana.
Aku benar-benar ingin mengungkapkannya padamu.
Hari-hariku menjadi lebih bewarna selama aku mengenalmu.
Kau telah banyak mengajariku tentang arti sebuah cinta yang suci.
Dan kau pun telah menyadarkanku, bahwa selama ini kau adalah wanita yang ku cari.
Aku mencintaimu Viona.
Aku hanya bisa berharap kau juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Bagiku engkau wanita yang sempurna.
Sungguh sangat berbeda denganku. Aku hanya seorang lelaki yang serba kekurangan.
Tapi akan ku usahakan, untuk memberikan cinta yang sempurna untukmu.
By: Alif

Air mataku semakin tak terbendung. Ku genggam erat tangan Alif seraya berkata “Aku juga mencintaimu Alif.”
Kulihat jantung Alif berhenti berdetak. Aku langsung memeluknya. Seakan tak percaya oleh semua ini. Hatiku hancur lebur.
“Mengapa kau harus pergi Alif? padahal kita akan menjalin hubungan yang selama ini ku tunggu.
Alif. Kau lelaki yang sangat sempurna. Mengapa kau harus pergi secepat ini?”

Di atas gundukan tanah yang masih basah dan dipenuhi bunga-bunga, aku duduk bersimpuh.
“Semoga kau tenang disana Alif. Terimakasih telah memberiku kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh. Mungkin memang Tuhan telah menetapkan jalan terbaik untukmu dan untukku. Entahlah. Yang aku tahu, aku sangat mencintaimu.”

Cerpen Karangan : Tutut Setyorinie
Facebook : Tutut Setyorinie

Cerita Maling Tobat

Anda Sedang membaca

Cerita Maling Tobat

SEMOGA BERMANFAAT
Karangan : Tutut Setyorinie Facebook : Tutut Setyorinie Cerpen Karangan Tutut Setyorinie Lainnya
Karya Tutut Setyorinie
Maling Bertobat

“Sauurr! Sauur!” teriak Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang besarnya hanya sepersepuluh dari bobot tubuhnya.
Salah seorang menimpuknya dengan roti kecil yang langsung mendarat tepat di pipi kanan Gentong. Tanpa pikir panjang, Gentong pun meraih kue itu dan langsung melahapnya habis.
“Woy.. Jam berapa ini? Lo gak liat, ini tuh baru jam 1. Paling, cucu adam baru pada teler.” sahut temannya.
Gentong hanya menggeleng sambil memainkan tangannya kayak guru yang lagi ngejelasin materi. “Sodara-sodara.. Kita itu harus bergerak lebih dulu daripada mereka. Nanti kalau kita kesiangan, misi kita ga berhasil lagi. Ada juga mereka bangun, trus ngabisin makan saurnya. Gimana nasib kita sodara? Masa kita ga kebagian makanan lagi?” jelas Gentong berpidato.
“Ah lu Tong, otaknya penuh sama makanan mulu! Kita tuh maling professional, ngeburu tv, kulkas atau ngga ipod. Bukannya ngeburu makanan, huh ngga level lo. Dasar Gentong!” timpal salah sorang temannya lagi.

Tak lama, lampu petromaks bewarna pink kemerahan menyilaukan mata kantuk mereka. Seorang bapak tua menghampiri Gentong dengan jalan yang sudah bertopang kayu namun rambutnya masih klimis, karena baru dicuci sama rinso anti noda terbaru. Haha x_x
“Tong, kok belom pada bangun sih? Bentar lagi proyeknya kan dimulai.” tanya Bapak tua sambil meluruskan rambutnya ke atas bak naruto jompo.
Gentong menghela napasnya, namun anehnya bapak tua itu langsung menutup hidungnya. Gentong nyengir sendiri, ia baru teringat kalau semalam, ia baru saja menghabisi sekeranjang pete ijo.
“Anu pa.. Anu.. Pada kaga mau bangun.” Gentong berlaga gagap. Pikirnya, ia baru saja berhasil menirukan gaya aziz gagap. Sempat terlintas di otaknya untuk mengganti nama jadi Gentong Gagap.
Bapak tua menatap bingung Gentong yang masih nyengir gak jelas. Sambil mengernyitkan kening ‘Duh, gue jadi tambah ngeri sama dia. Jangan-jangan dia naksir lagi sama gue, gara-gara rambut klimis yang baru di rinso-in ini.’
“Tong, Oyy!” seru bapak tua itu.
Gentong mengerjap-ngerjap dan langsung bersikap ibarat anggota PBB yang lagi hormat. “Siap, pak!”
“Tong, lu napa sih? Senyum-senyum sendirian, ngga ngajak-ngajak gue.” keluh bapak tua, keki.
Gentong malah tambah cengengesan sambil garuk-garuk kepala. “Maap pak. He..he..”
Pa tua menaikan celana jins nya yang agak kedodoran akibat nyolong punya temen sebelahnya. Di belakang celana terdapat tulisan ‘Maling-maling kece’
“Udah sana, bangunin temen-temen lu. Heran gue, kok yang rajin bangun cuma lu doang ya.”
“Ya, begitulah pak. Kan kalau saya yang bangun pertama, saya pasti dapet jatah makanan paling banyak.” timpal Gentong masih dalam ekspresi yang sama.
Pa tua menggeleng. “Dasar emang, otak lu otak gentong. Ya udah, gue tunggu di pos ronda. Sumpeh, nyamuknya banyak banget kalau nunggu di pohon beringin. Ada juga, nanti rambut klimis gue jadi butek gara-gara dijilatin nyamuk.”
Gentong tergelak puas. Sedangkan si bapak tua tadi udah cepat melesat dari hadapannya. Takut nanti, tawa Gentong mecahin gendang telinganya.

Semuanya telah beres. Dari mulai tas, senter, maupun sarung buat menaruh cadangan makanan apabila tasnya nggak muat. Gentong men-cek kembali perlengkapannya. Oke, sempurna! Sebelumnya saya ingin jelaskan, kalau disini setiap maling yang masuk ke rumah itu ada dua. Bukan dua-duanya bantuin gotong. Tapi, yang satu tugasnya nyanyi, biar orang yang mau dirampokin tidurnya tambah nyenyak. Dan satu lagi tugasnya buru barang yang ingin dirampok. Wkwk 😀 #tamplok penulisnya
“Ehm, tes.. tes..” Gentong men-cek pita suaranya
“Nyanyi apaan ya ntar gue?” tanyanya sendiri
“Nina bobo udah sering. Potong bebek udah pernah. Emm Happy Birthday, ah yang ini gue ngga bisa ngomong inggrisnya.” Gentong menyibakkan rambutnya yang agak kedepan. “Gue kan cinta Indonesia” pikirnya, lalu tersenyum renyah.

“Tong, lama amat sih lu. Udah mau berangkat nih..” panggil salah sorang teman Gentong, yang menjalani misi rampok bersamanya.

Gentong pun terkesiap. Ia melesat dengan baju yang sama seperti kemarin-kemarin dulu. Pakaian yang serba hitam. Kuku di menipedi hitam, lipstik & eyeshadow nya hitam, tak lupa juga sarung penutup tubuhnya yang didapat dari warisan kakeknya pun bewarna hitam. Gentong berpikir sejenak
‘mungkin lebih cucok, kalau sarungnya jadi warna pink kali yah.’

Tujuan pertamanya adalah rumah si Somad. Seorang bocah kecil yang selalu pake sorban dan peci kemana pun ia pergi. Dan pastinya selalu pakai baju koko, masa iye pake sorban trus pake kaos oblong? Ada juga diketawain sama anaconda yang diperut. Ha..ha.. 😀
Gentong menyelusup lewat pintu belakang. Jleep. Jidat Gentong langsung beradu dengan tembok beton di sebelahnya. ‘Aduh sungguh sial..’
Pintu pun terbuka dengan sendirinya. Gentong langsung melesat cepat, ia sangat tau tujuan pertamanya, sebelum ia menyanyi ia harus mengisi perutnya dulu, yaitu ke D-A-P-U-R., tempat favoritnya. Beberapa kue-kuean yang kayaknya buat persiapan lebaran, telah berhasil masuk ke dalam tas Gentong. Gentong tersenyum lega ‘Lumayan nih, lebaran ga usah ngredit kue ke pa tua.’
Sayup-sayup Gentong mendengar suara lantunan ayat-ayat suci yang bergetar lembut membangunkan bulu kuduknya yang selama ini tertidur pulas.

Di dalam kamar, Somad memang sedang mengalunkan ayat-ayat suci itu tiba-tiba mendengar suara dentingan piring pecah. Somad terkaget dan bangkit.
“Astagfirullah.. Perang dunia ke-3 meledak. Bersiap, waa caw haa.” Somad melancarkan aksi karate yang baru kemarin ia dapat dari tukang bakso sebelah.
“Jurus bakso pedes.” Somad kembali melancarkan salah satu jurus karatenya.
Nyak dan babe Somad yang masih tertidur dalam dekapan guling yang agak pesing itu sontak terbangun dan ikut-ikutan menggerakan kedua tangan mereka meniru gaya si Somad.
Gentong yang masih berpijak di dapur pun panik. Kakinya gemeteran kayak orang lagi nahan sesuatu*. Mukanya yang udah pake blash on warna hitam terlihat makin item. Cukup lama Gentong terpaku dalam kepanikannya. Sampai dari kejauhan ia melihat 3 superhero yang siap beraksi.
Seorang bapak renta berkumis tebal yang mirip chaplin tapi lebih mirip chaplin yang versi indonesiannya yakni jojon, membawa ban motor dan kaca spion yang kacanya udah almarhum karena keinjek sendiri. Lalu ada wanita tua yang hanya pake kupluk serta daster panjang yang agak sedikit robek sambil membawa bantal gulingnya. Dan satu lagi, sorang anak kecil bersorban membawa gayung sekaligus embernya.
Lengkaplah sudah. Superman, Catwomen dan Batman.. #eh ralat, karena keluarga Somad lebih suka yang ke-indonesiaan. Maka jadilah.. jreeng – jreeng – jreeng ~~ Gatot kaca, Cat wadon dan Unyilman ~~

Degup jantung Gentong semakin cepat tak terkendali. Keringat dingin mulai mengaliri tubuhnya. Gentong mencoba menghela napas untuk menenangkan pikirannya. Sebutir darah pun akhirnya berhasil masuk ke otak Gentong setelah melewati perjalanan sulit karena terhimpit sisa makanan.
Cliing. Gentong baru teringat.
“Oiya, gue kan pake item-item, kalau ngumpet di bawah meja pasti ngga keliatan. Huh.” Otot nya langsung melemas. Sedangkan otaknya masih berpikir betapa bodohnya dirinya.
“Ema gue ngga pernah nyekolahin gue sih, makanya gue jadi bego gini.” pikirnya sendiri.

Si Gatot kaca, Cat wadon, dan Unyilman masih terus mencari sosok misterius itu. Cat wadon memilih mencari ke kamar mandi, karena dari tadi dia udah kebelet. Gatot kaca malah memilih ke tempat motor otentiknya disimpan, karena takut ada sesorang mengambil bagian dari motor yang merupakan pewarisan kakeknya dulu.
Nah.. yang paling pinter kayaknya cuma si Unyilman alias Somad, Somad tau pasti bunyi yang terdengar tadi adalah bunyi piring pecah. Dan piring itu pasti adanya di dapur. Somad melangkah kesana dengan harap-harap cemas, takut, kalau kue nastar yang dibeli pakai hasil rengekan pada babenya itu hilang. Karena butuh berhari-hari buat Somad ngumpulin air mata buayanya untuk minta duit ke babe. Sedangkan air matanya habis diperes kemarin pagi, jadi sekarang pasokan air matanya belum cukup banyak.

Ketiga superhero itu saling berpandangan karena belum juga menemukan sosok itu. Somad memberanikan diri membuka lemari es dan mendapati kue nastarnya yang benar-benar hilang.
“Nyaak, babe.. Kue nastar somad …ilaang.”teriak Somad yang membuat semuanya tutup kuping, termasuk si kulkas sendiri.
Air mata yang membendung pun ga bisa ditahan Somad. Namun setelah beberapa detik, Somad cepat-cepat menghapus air mata itu, dia sadar ini bukan waktu yang tepat untuk merengek pada babenya buat beliin kue nastar baru lagi. Lebih baik ia menyimpan air matanya untuk saat yang tepat

“Ada apa sih umi, abi?” tanya seorang wanita yang turun menekuri anak tangga dengan anggun. Dihiasi jilbab oranye dan gamis bermotif sakura yang membalut tubuh mungilnya.
Sontak semua mata tertuju pada sosok itu. Termasuk, Gentong yang masih ngumpet di kolong meja pun ikut mesem-mesem sendiri karena mengira wanita tadi adalah bidadari yang baru saja turun dari kayangan untuk berjodoh dengannya 😀 geer banget
Namun tak satupun dari mereka yang angkat bicara. Suasana hening sejenak. Tak lama, kumandang adzan memenuhi lorong-lorong sunyi di telinga mereka. Semua mata itu beradu kembali, tak percaya. Sudah berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk ini? Semua menggeleng dan meraba perut mereka masing-masing.
Somad berpikir sejenak. ‘untung aku makan banyak pas tadi malem. Ya, seenggaknya lumayan buat makan anaconda ini biar ngga ngamuk sampe ntar buka.’
Sedangkan si babe dan nyak hanya geleng-geleng kepala. Sambil terus meraba perutnya yang udah kepalang laper. ‘Bobo yang nyaman ya anaconda. Bangunnya nanti pas buka’ pikir mereka bersama.
Dan Aisyah, mpo’ nya somad langsung tancap gas menuju masjid dengan Somad yang masih melingkari sorban di lehernya. Gentong malah terenyuh, melihat kekompakan keluarga tadi. Tapi, hatinya begitu teriris untuk pertama kalinya karena telah mencuri setoples kue ini, semua jadi kacau.

Gentong mengikuti langkah Aisyah dan Somad menuju masjid. Sedangkan ia hanya berdiri di luar masjid yang ditutupi pohon mahoni yang tumbuh subur di antara pelataran masjid ini. Gentong berjanji, tidak akan pergi, sebelum melihat senyum merekah di bibir Aisyah dan Somad. #Hehew maling berperasaan nih..

‘Allahu Akbar’
Aisyah dan Somad mengikuti sholat berjamaah dan dilanjutkan kultum singkat dari Pa ustad. Sedangkan Gentong masih berdiri di luar masjid, karena ia sempat teringat perkataan dari kakek buyutnya
‘Untuk semua maling dan keturunannya tidak diharapkan untuk memasuki tempat-tempat suci karena tubuh ini terlalu kotor.’
Gentong teringat kembali. ‘iya yah, gue udah berapa minggu ya ngga mandi?’

Pusat perhatiannya kembali pada sosok-sosok itu. Terlebih kepada Aisyah. Gentong geleng-geleng kepala sendiri setelah ia menyadari begitu cantiknya wanita yang sedang dalam pandangannya ini.
“Gue baru tau, kalau Somad punya mpo yang secantik ini.” gumam Gentong
Pandangan Gentong kembali menerawang. Tampaknya sedang banyak hal yang menari-nari dalam bayangnya.

“Mad, nape lu. Daritadi kayaknye ngelamun terus?” tanya Pa ustad, memfokuskan kembali pandangan Gentong pada sosok itu.
Somad yang ditanya tadi malah menggeleng. “Itu pa, emm itu..”
“Itu, itu apa?” cecar Pa ustad.
Somad menghembuskan napas pasrah. “Kue nastar Somad, ilang pa. Somad takut, nanti Somad ngga bisa lebaran.”
Pa ustad berganti menggeleng. Sontak semua mata tertuju pada Somad kemudian tergelak bersama.
“Eh, udeh udeh. Jadi pade rebut sih. Somad, lebaran itu kaga tergantung sama kue nastar. Emang lu mau, lebaran sendirian bareng kue nastar doang?”
Somad menggeleng dan menerawang.
“Ya udeh gak usah sedih lagi ye. Muka lu udah kaye empang retak. Ha..ha. Kan kata lagu, ‘Ngga punya kue pun ngga apa-apa, masih ada kue tetangga.” Jawab Pa ustad seraya bernyanyi, menghasilkan senyum renyah untuk semua, termasuk Somad dan Aisyah.

Gentong yang masih setia berdiri di luar masjid pun jadi semakin terenyuh. Dalam hati ia bernapas lega, karena tidak jadi membatalkan lebarannya si Somad. Ya kalau sampe lebaran itu diundur, Gentong ngga tahan lagi pengen nyobainn ketupatnya Ma Ijah, ibunya si somad.

Lantunan ayat suci keluar dari bibir mungil Aisyah. Begitu merdu, menenangkan jiwa. Untuk kesekian kalinya Gentong kembali terenyuh. Ia merasa, angin sepoi-sepoi sedang mengipasi tubuhnya. Tapi ternyata, itu memang benar. Gentong mencium sendiri bau tubuhnya yang begitu semerbak, karena sudah hampir se-abad belum mandi bunga 7 rupa. 😀
Gentong terpaku dalam lantunan ayat-ayat suci itu. Ia terharu, begitu lincahnya Aisyah mengalunkan ayat itu dalam padanan simphony yang indah. Gentong kembali memperhatikan tubuh Aisyah dari atas kembali ke bawah. Sungguh sempurna dan makin sempurna. Wanita idamannya hadir dalam dunia nyata.
Akhirnya Gentong kembali ke persinggahan dalam langkah gontainya.

Langit membiru. Angin menghembus. Gentong terduduk di atas kursi panjang di bawah sinar mentari yang tak begitu cerah hari ini. Tenggelam dalam pikirannya yang merampas alam sadarnya. Burung berkicauan dalam symphony-nya. Gentong kembali dan berpikir sejenak
‘Ga enak ya, jadi maling. Mending kalau berhasil, kalau ngga harus lari-larian atau digebukin warga. Masa gue harus jalanin sisa hidup gue untuk jadi maling selamanya? Gue kan juga mau, hidup damai sama mereka. Dihargai, dihormati, bukan dicaci maki.
Apalagi liat mpo nya somad, Aisyah. Duuh, kaya liat air di gurun pasir. Seger, cantik. Lagian, mana mau si Aisyah pacaran ama gue, kalau gue masih jadi maling gini. Huh.’

Petang hampir sirna. Kemilau senja yang elok berganti dengan serinai malam yang perlahan jatuh di altar langit. Indah dan sempurna. Ciptaannya saja seindah ini, bagaimana dengan penciptanya? Pasti Ia lah maha dari segala maha keindahan. Namun, beginikah rasa syukur kita atas semua keindahan yang telah Ia berikan? Mari kita merenungi hati kita masing-masing. Terkadang, mulut dengan gamblang menyatakan kesalahan orang lain, tanpa pernah berpikir dulu sebenarnya kita pun juga punya kesalahan. Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diujung lautan kelihatan. Udah ah, ngga usah panjang-panjang pidatonya. Hahaa 😀

Kembali pada sosok Gentong. Sosok yang hatinya sedang diserang kalut yang makin berkecamuk. Bimbang, bingung, galau hingga ia tak tau lagi, apa yang seharusnya ia rasakan.

“Gue mau tobat, Le.” Gentong memulai curhat pada sohibnya.
Sule mengernyitkan keningnya yang bergurat roma keheranan. “Hah? Serius lo, Tong?”
Gentong mengangguk. Pandangan mereka beradu. Namun cepat kembali pada alam pikiran mereka masing-masing.
“Bukannya gue mau ngelarang lo. Tapi.. bukannya kita harus ngehargain sesepuh kita yang dari bayi dulu udah jadi maling? Ditambah kakek kita yang kemaren dapet maling award. Kita semakin digembleng juga untuk mendapat itu. dan pastinya kita harus mengorbankan seumur hidup kita untuk jadi maling.” lanjut Sule dengan perasaan bersalahnya.

Gentong menyergah. “Le, lo ngga ngerti. Gue tuh mau hidup damai, bukan jadi buronan warga mulu. Gue mau le, hidup kayak orang lain. Gue bahkan benci, kenapa gue harus di lahirin di keluarga seperti ini.”
Mereka berdua menarik napas dalam. Lalu dihembuskan bersama.
“Ya, kalau emang itu keputusan lu, gue cuma bisa ngedukung, Tong. Semoga lu bisa bahagia atas keputusan ini. Goodluck sobat.” Sule menepuk bahu Gentong dan segera berlalu menghapus jejak nya yang terbawa riuh angin.

“Pipih.. Mimih..” sahut Gentong, kembali berpikir sejenak ‘kok gue kaya aulel & aziel ya?’
“Aurel Azriel kali.” jawab Mimih menghentakan pandangan Gentong. Ia tercengang ‘gimana nyak bisa tau, suara hati gue ya? Punya kontak telepon kali ..’ batin Gentong.
Si Nyak malah melempar lampu teplok yang sudah tak berapi lagi. “Kontak batin beg*”
“Hehe, nyak kok tau sih.” tanya Gentong kesekian kalinya, kali ini benar-benar terucap dari mulutnya.
“Iya lah.” jawab Nyak keki.

“Ada apa, Tong?” giliran Babe bertanya.
Lama Gentong terpaku, menekuri lantai yang kini dipijaknya. Kedua orang tuanya saling berpandangan. Pikiran mereka sama, bertanya-tanya ‘ada apa gerangan dengan si Gentong ..’

Gentong mengambil napas dalam, menghembusnya tenang. “Nyak, beh, Gentong mau .. bertobat. Gentong mau berenti jadi maling.” ucapnya, menatap kedua orangtuanya dengan penuh pengharapan.
Sontak mata-mata itu menatap balik Gentong geram, tapi tak sempat terlukis dengan kata-kata karena lebih dulu diteduhkan oleh rintik hujan yang perlahan jatuh menuruni bumi dari khayangannya.

“Tong, lu kan tau. Lu adalah harapan satu-satunya nyak dan babe untuk meneruskan bisnis keluarga ini. Lu juga tau, gimana sikap kakek lu nanti kalau lo bener-bener mau…” ucap Nyak yang tak sanggup lagi meneruskan kata-kaya karena terpotong oleh air mata yang mengaliri pipinya.
“Maap Nyak, beh. Tapi Gentong gamau, untuk seumur hidup jadi maling. Gentong punya impian, Nyak. Gentong punya cita-cita untuk dicapai. Dan cita-cita Gentong bukan untuk jadi maling kayak gini.” Jelas Gentong panjang kali lebar.

Semua terenyak. Berkutat dengan imajiner mereka masing-masing.
Sedangkan Babe telah tak sanggup menahan air mata nya yang telah memanas sejak tadi. Babe menatap Gentong, teduh. “Tong, babe bener-bener terharu. Lu bisa ngambil keputusan sebesar ini.” Babe menepuk bahu Gentong.
“Dulu.. babe juga punya cita-cita untuk jadi perwira TNI. Tapi babe terlalu kecil untuk impian itu. Babe takut, ngga berani, untuk mengambil keputusan yang sebetulnya sederhana ini, ya kayak lu gini. Tapi babe ngga mampu. Babe hanya pasrah atas jalan takdir yang sama sekali bukan impian babe. Lebih tepatnya mimpi buruk.”

Semuanya menarik napas dalam. Lepas dalam kehangatan.
“Babe harap, lu bisa jadi anak berguna ya, Tong. Babe ingin liat lu bisa meraih cita-cita. Maafin babe tong, maafin babe, karena babe udah ngebesarin lu di tempat yang ngga baik gini. Maafin babe yang udah nyuruh lu jadi maling. Maafin babe karena belum bisa ngedidik lu dengan baik.”

“Beh.. Babe ngga perlu minta maaf gini. Gentong yang banyak terimakasih, karena babe sama nyak udah mau ngerawat Gentong sampe gede gini. Gentong janji, Gentong akan jadi anak yang membanggakan untuk kalian.” Gentong mencium tangan kedua orang tuanya.
“Doa’in Gentong ya Nyak, ya Beh.” pinta Gentong lagi. Tulus.

Sudah seminggu dari peristiwa mencengangkan itu. Tapi kini, semua orang telah menerima dan bersikap layaknya biasa terhadap Gentong. Tali silaturahmi antar sesama maling pun masih berjalan baik. Sedang si Kakek Gentong yang dulu sangat mengecam keras keputusan Gentong, perlahan akhirnya menerima dan berusaha memahami.

Mulai saat ini, Gentong jadi rajin mengunjungi masjid. Ia mempelajari ilmu agama mendalam. Dari mulai belajar membaca Al-Qur ‘an, fiqih, tauhid dan tafsir ia tekuni dengan mantap. Semua jama’ah masjid, menerima kehadirannya. Walau mereka tau, si Gentong adalah mantan maling paling terkenal dikampung mereka. Tapi, semua orang bisa bertobat bukan? Dan Allah maha penerima taubat hamba-hambanya sebesar apapun dosa itu.
Ilham telah memasuki tubuh Gentong. Langkahnya menjadi ringan untuk menuju masjid, walau terkadang salah satu alasannya karena ingin menemui Aisyah, tapi sholat berjama’ah tak luput ia tinggalkan.

Pertemuan Gentong dengan Aisyah menjadi rutin belakangan ini. Karena Gentong telah mengikuti pengajian rutin Ust. Riza. Ham[ir setiap sore mereka bertemu, bertegur sapa, ataupun sedikit berbincang di sela waktu senggang.

Sore ini Gentong kembali ke pengajian. Dengan langkah semangan ’45, ia menyusuri jalan berkelok yang dipenuhi tanah becek akibat hujan pagi tadi. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Langkah anggun Aisyah menyilaukan mata besar Gentong. Perlahan, dada Gentong mendadak penuh sesak. Lidahnya berubah kelu. Ototnya meregang. Semua system tubuhnya seperti tak berfungsi lagi, tatkala Aisyah semakin melangkah mendekatinya.
“Assalamuaikum. Bang Gentong, kenapa ngga masuk ke dalem?” tanya gadis itu. lembut.
Pipi Gentong semakin menunjukkan rona merahnya. Masih dengan napas yang terengah, Gentong mencoba menghelanya. “Iya, kan nunggu neng Aisyah.”
Aisyah pun tersenyum membalasnya. Langkahnya berirama dengan langkah Gentong memasuki rumah pengajian, sore itu.

Malam ini terlihat begitu cerah. Bulan bersinar setitik melengkuk. Bintang berkelip bergantian, memperlihatkan rasi bintang centaurus yang menawan. Belum lagi, Mars si planet merah yang menampakkan diri diufuk timur. Semuanya begitu indah. Tak satupun kata yang dapat melukiskan.
Gema takbir bersahut-sahutan. Iring-iringan sholawat memper-eloknya. Lidah seperti tak terasa berucap lagi karena begitu seringnya kalimat itu terucap.

Allahu akbar Allahu akbar wa lillah hil hamd
Kata itu terucap berulang kali dimulut Gentong sambil memukul-mukul kentongan yang dibawanya. Sejenak pikirannya seperti terempas ke lorong waktu. Dulu, ia juga menggunakan kentongan ini untuk membangunkan temannya untuk ber-maling, tapi kini dirinya sangat bersyukur. Dihari suci nan fitri, ia telah bersih. Bukan hanya bersih fisik, namun semoga juga bersih hati. Tak ayal, ucapan syukur itu berulang kali terlontar.

Usai melaksanakan sholat ied, Gentong langsung bergegas ke luar rumah menyusuri jalan setapak yang bertempok bata di kedua sisinya. Langkahnya terlihat gugup namun berusaha setenang mungkin dengan napas yang berulangkali dihelanya. Tangan kirinya melingkari tas kecil yang dipenuhi makanan ringan.
“Assalamualaikum” Gentong mengetuk pintu kayu itu.
Selang beberapa detik, pintu itu terbuka. “Waalaikumsalam. Eh Gentong.. Masuk sini..” Wanita setengah baya itu menyambut.
“Lagi pade makan. Lu udah makan belom? Makan bareng aja ye.”
“kalau mpo ngga keberatan sih. hehe..” Gentong berlagak malu-malu kucing. Eh asal jangan malu-maluin deh. x_x

Semua orang terpaku pada sosok Gentong. Hening. Riuh angin yang perlahan menghembus dari sela-sela jendela mencairkan suasana.
“Eh Gentong, sini-sini makan. Syah, ambilin makanannye buat Gentong.” sapa Babe.
Aisyah pun mengangguk, tanpa banyak tanya ia langsung mengambil seporsi nasi, sayur beserta lauk pauknya.
Kebiasaan Gentong masih sama, senyum-senyum ngga jelas di depan Aisyah yang tampak sangat anggun siang ini. “Makasih ya..”
Aisyah membalas senyum itu dan terduduk kembali dikursinya.

“Gimana Tong? Enak ngga masakannya? Ini si Aisyah nih yang bikin.”
“Wah enak banget beh, apalagi kalau bidadari yang bikin. Tambah wuenak.” jawab asal Gentong.

Semua tenggelam dalam gelak tawa.
“Oh ya, ngomong-ngomong ada apa nih Tong, kok tumben lu kesini?” tanya Babe setelah usai makan bersama.
Gentong tersentak seperti kehabisan kata-kata. “Emm, ini beh. Oh ye, ini ada sedikit kue-kuean buat semuanya. Maksud Gentong dateng kemari, Gentong mau ngelamar Aisyah beh.”
Kembali. Semuanya saling berpandangan bertanya-tanya.

“Iye iye. Itu sih terserah Aisyah aja. Gimana Syah?” Babe melempar pertanyaan, mencairkan suasana.
Aisyah tersenyum, mengangguk. “Aisyah.. mau.”
“Oke lah kalau begitu, langsung aja.” Nyak menimpali.
Air muka Gentong berubah. Pipinya memerah. Rasa bahagianya tidak dapat disembunyikan.

“Tapi.. Apa bang Gentong mau, nunggu Aisyah untuk menyelesaikan studi di maroko 4 tahun lagi?”
Gentong terdiam cukup lama. Namun kembali, dan tersenyum. “Nunggu 100 tahun lagi unutuk Neng Aisyah, bang Gentong juga mau.”

Semua kembali dalam gelak tawa.

*SELESAI*

Cerpen Karangan  : Tutut Setyorinie
Facebook : Tutut Setyorinie

Kisah Taubatnya Wanita Tidak Berhijab


Kisah Taubatnya Wanita Tidak Berhijab

Al-Kisah diceritakan, ada seorang wanita yang dikenal taat dalam beribadah. Dia sangat rajin melakukan ibadah wajib maupun sunnah. Hanya ada satu kekurangannya, ia tak mau berjilbab menutupi auratnya.

Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum, seraya menjawab: “Insya Allah yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak orang yang menanyakan maupun menasihatinya. Tapi jawabannya tetap sama.

Hingga suatu malam ia bermimpi sedang berada disebuah taman yang indah. Rumputnya sangat hijau. Berbagai macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan bagaimana segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih. Airnya kelihatan melintas di pinggir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ada beberapa wanita di situ yang terlintas juga menikmati pemandangan keindahan taman.

Ia pun menghampiri salah satu wanita tersebut. Wajahnya sangat bersih, seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut. “Assalamu’alaikum saudariku…” “Wa’alaikum salam…, selamat datang wahai saudariku…” “Terimakasih, apakah ini syurga?” Wanita itu tersenyum. “Tentu saja bukan wahai saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum surga.” “Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini…” Wanita itu tersenyum lagi kemudian bertanya, “Amalan apa yang bisa membuatmu kembali wahai sudariku?” “Aku selalu menjaga shalat, dan aku menambah dengan ibadah-ibadah sunnah. Alhamdulillah.”

Tiba-tiba jauh diujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka, dan ia melihat beberapa wanita yang di taman tadi mulai memasukinya satu per satu. “Ayo, kita ikuti mereka!” Kata wanita itu sambil setengah berlari. “Apa di balik pintu itu?” “Tentu saja surga wahai saudariku…” Larinya semakin cepat. “Tunggu… tunggu aku…” Ia berlari sekancang-kencangnya, namun tetap tertinggal. Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenyum padanya. Namun ia tetap saja tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari sekuat tenaga.

Ia lalu berteriak, “Amalan apa yang engkau lakukan sehingga engkau tampak begitu ringan?” “Sama denganmu wahai saudariku…” Jawab wanita itu sambil tersenyum. Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu, “Amalan apalagi yang engkau lakukan yang tidak aku lakukan?” Wanita itu menatapnya dan tersenyum lalu berkata, “Apakah engkau tidak memperhatikan dirimu apa yang membedakan dengan diriku?”

Ia sudah kehabisan nafas, tak mampu lagi menjawab, “Apakah engkau mengira bahwa Rabbmu akan mengizinkanmu masuk ke surga-Nya tanpa jilbab penutup aurat?” Kata wanita itu. Tubuh wanita itu telah melewati, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar memandangnya dan berkata, “Sungguh disayangkan, amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini. Cukuplah surga hanya sampai di hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati.”

Ia tertegun… lalu terbangun… beristighfar lalu mengambil wudhu. Ia tunaikan shalat Malam, menangis dan menyesali perkataannya dahulu.

Dan sekarang ia berjanji sejak saat ini ia akan MENUTUP AURATNYA.

Allah SWT Berfirman “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Ahzab: 59)

Berjilbab adalah perintah langsung dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala, lewat utusan-Nya yakni baginda Nabi Besar Muhammad Rasulullah Saw. Yang namanya perintah dari ALLAH adalah wajib bagi seorang hamba untuk mematuhi-Nya. Dan apabila dilanggar, ini jelas ia telah berdosa.
Anda Sedang membaca

Kisah Taubatnya Wanita Tidak Berhijab

SEMOGA BERMANFAAT
Sumber : www.duniaislam.org

Kisah Rasulullah Dicekik dan Dilempari Kotoran Binatang

*Kisah Rasulullah Dicekik dan Dilempari Kotoran Binatang*
Anda Sedang membaca

Kisah Rasulullah Dicekik dan Dilempari Kotoran Binatang

SEMOGA BERMANFAAT

Kisah Rasulullah Dicekik dan Dilempari Kotoran Binatang

Sahabat dunia islam, mari kita pelajari sifat dan kisah Rasulullah, Rasulullah bukan sosok pemarah. Banyak yang mencoba mengejek, menyakiti dan melukai, tapi Rasulullah tidak menanggapi dengan api amarah. Rasulullah kadang malah membalas dengan kasih berlebih. Begitu pun ketika si Badui kurang ajar itu mengasarinya.Rasulullah tengah berjalan bersama Anas bin Malik, ketika tiba-tiba Arab Badui itu menarik selendang Najran di kalungan lehernya.

Begitu kerasnya tarikan si Badui, Nabi pun tercekik. Anas, seperti tercatat dalam Shahih al-Bukhari, sempat melihat bekas guratan di leher Nabi.

“Hai Muhammad, beri aku sebagian harta yang kau miliki!” teriak si Badui, masih dengan posisi selendang mencekik Rasul.

Apakah Nabi marah dengan sikap si Badui yang mirip preman Tanah Abang ini: berbuat kasar untuk minta ‘jatah’? Hati Nabi terlalu sejuk untuk sekadar diampiri letikan rasa gusar.

Tidak, Nabi justru tersenyum, dan bilang ke Anas, “Berikanlah sesuatu.”

Itu masih belum seberapa. Nabi bahkan pernah ‘dihadiahi’ kotoran hewan, pada punggung, di saat Nabi sedang sujud dalam shalat. Abdullah bin Mas’ud jadi saksi, yang kemudian direkam pula dalam Shahih al-Bukhari.

Ibnu Mas’ud melihat Nabi tengah bersembahyang di dekat Ka’bah, dan pada saat yang sama Abu Jahl dan gerombolannya duduk-duduk tak jauh dari situ.

“Siapa mau membawa kotoran-kotoran kambing, yang disembelih kemarin, untuk ditaruh di atas punggung Muhammad, begitu dia sujud?”

Abu Jahl berseru pada punakawannya. Satu dari mereka, yang tak lain adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, serta Uqbah bin Abi Mu’ith, itu bergerak mengambil kotoran. Mereka tunggu hingga Nabi sampai pada sujud.

Dan benar, sampai ketika Nabi sujud, ditaruhlah kotoran itu di antara dua bahu Nabi. Abu Jahl, punggawa Quraisy yang selalu berupaya menghancurkan Nabi itu, dan gerombolannya menyaksikan dengan tawa keras. Nabi tetap dalam sujud hingga Fatimah az-Zahra membersihkan sembari meneteskan air mata. Tapi Nabi bukan sosok pemarah, bukan pendendam.

Nabi tidak memerintahkan Sahabat-Sahabat untuk membalas balik perlakuan Abu Jahl Cs. Beliau hanya berdoa,  “Allahumma alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy.” Ya Allah, binasakan mereka, bangsa Quraisy yang pongah itu.

Semoga kisah di atas menjadi contoh bagi kita. Amin.

Sumber: Majalah Syir’ah edisi 52, ditulis oleh Mutjaba’ Hamdi di kutip dari NU.or.id

Kisah Nyata Yang Mengharukan - Biarkan Anakku Tertawa, Sebelum Tahu Ibunya Sudah Tiada

*Kisah Nyata Yang Mengharukan - Biarkan Anakku Tertawa, Sebelum Tahu Ibunya Sudah Tiada*

Kisah Nyata Mengharukan

Satu petang saat orang2 tengah sibuk berebut saat untuk segera pulang kerumah masing2 sesudah melakukan kebiasaan pekerjaannya, di satu halte busway tampak seseorang ayah dengan 3 anaknya yang masihlah kecil2. Mereka tengah menanti datangnya busway yang sebentar lagi bakal membawa mereka pulang. Ketiga anak itu berumur sekitaran 8, 5 serta 3 th.. Anak paling kecil seperti seseorang putri, ia demikian cantik dalam dekapan sang ayah. Sedang ke-2 anak lainya yang putra sedang asik bermain2 ke sana kemari. Tersebut ciri anak seantero dunia.

Tibalah waktunya busway ditunggu datang. beberapa penumpang juga seperti robot yang diperintahkan sama bergegas menuju pintu masuk busway, termasuk juga sang ayah serta ke3 anaknya. Lalu keluarga itu bisa duduk di kursi busway yang disusun seperti kereta rel listrik (KRL). Lalu ke2 anak laki2nya beranjak dari kursinya serta bermain petak umpet di sela2 badan orang dewasa yang beberapa besar isi ruangan busway itu sambil berteriak girang.

Tampak sebagian penumpang yang berwajah jadi demikian muram. Mereka terasa tak nyaman dengan kegaduhan itu. Sampai pada akhirnya ada seseorang penumpang pria yang ketus menyatakan protesnya ke sang ayah,
Pak, tolong anaknya di atur ya, disinikan penumpang juga menginginkan tenang, sudah lelah kerja, eh pulang kok masih saja ada yang ganggu!! ”.

Lantas sang ayah sembari menggendong putrinya juga menjawabnya dengan senyum, 
Maaf ya mas, ibu mereka barusan meninggal sore ini dirumah sakit, serta saya belum menyampaikan hal semacam ini ke mereka. Nanti begitu sampai tempat tinggal saya bakal mengatakannya, biarkanlah mereka rasakan keceriaan sebagai hak mereka, karna saya terasa mereka akan banyak kehilangan keceriaan sesudah tahu kalau ibu yang biasa mengasuh mereka serta menyayangi mereka setiap waktu telah tidak bersama mereka lagi selama-lamanya, mas tidak keberatan kan, bila mereka bermain sebentar saja di bus ini? ”.

Mendengar apa yg dibicarakan sang ayah, beberapa penumpang yang mendengarnya lantas terdiam serta merenung, termasuk juga sang pria yang barusan memperotes sang ayah dengan ketus, tiba2 mereka teringat bakal kasih sayang serta kekeliruan2 yang pernah mereka perbuat pada ibunya.

Diam-diam di antara mereka ada yang menggambil handphone di saku celananya, lantas jari jempolnya bikin bari kalimat, 
Ibu apa kabarnya? besok pagi saya ingin pulang menjenguk ibu. Maafkan semua salah saya, ibu
Lalu dia kirim sms itu ke nomer ibunya, serta mengharapkan ia masih di beri peluang untuk berjumpa dengan ibunya besok…

Sayangilah orangtua (terutama seseorang ibu) sebelum kalian menyesali kepergiannya. Tangisan kalian bakal percuma seandainya semasa hidupnya, tidak pernah kalian sayang pada orangtua.

Subhanallah…

Anda Sedang membaca Cerpen

Kisah Nyata Yang Mengharukan - Biarkan Anakku Tertawa, Sebelum Tahu Ibunya Sudah Tiada

SEMOGA BERMANFAAT
Sumber : www.media-terkini.com

Kisah Masa Kecil Rasulullah Dan Ibunya

*Kisah Masa Kecil Rasulullah Dan Ibunya*

Kisah Masa Kecil Rasulullah Dan Ibunya

Sebagaimana tradisi suku Quraisy dan kabilah Arab pada umumnya, pada hari kedelapan selepas dilahirkan oleh Siti Aminah, Muhammad kecil harus diungsikan ke pedalaman dan baru akan dikembalikan ke ibunya ketika kelak berusia delapan atau sepuluh tahun. Tentu hal ini membuat Siti Aminah gundah. Tapi, tradisi tetaplah tradisi, mau nggak mau harus tetap dilaksanakan.

Aminah pun sadar, ini penting untuk ia lakukan. Ia pun mengikhlaskan putranya untuk dikirim ke pedalaman. Lagipula ia tahu bahwa tujuan dikirimkannya supaya kemampuan berbahasa sang anak bagus—di pedalaman bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab asli, belum campuran dan bukan bahasa pasar (fush-ha)—dan bisa mencecap udara pedalaman yang bersih, tidak seperti di kota yang dianggap telah tercemar.

Di pedalaman itu, Muhammad kecil diasuh oleh Halimah bint Abi Dzuaib (Halimatus Sa’diyah) selama tiga tahun. Muhammad pun tumbuh menjadi anak yang cepat tanggap, telaten dan jujur. Ia juga kerap membantu temannya yang kesusahan dan selalu bersikap bersahaja walaupun ia terkenal memiliki kecerdasan yang luar biasa dibandingkan anak seumurannya, apalagi ia adalah keturunan salah satu suku terpandang di kabilah Arab. Hal itu membuatnya disukai banyak orang. Tak terkecuali teman sebayanya.

Suatu ketika, saat ia bermain bersama anak-anak lain, ia didatangi oleh dua orang berbaju putih. Ia pun sempat bertanya, tapi tidak dijawab. Dua orang itu berkata dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Muhammad  kecil.

Sontak, hal ini pun membuatnya ketakutan. Tak terkecuali teman-temannya. Mereka pun berlari mendatangi  rumah Halimatus Sa’diyah dan melaporkan peristiwa yang terjadi.

“Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki,” ujar salah seorang dari mereka, agak berteriak.

Halimah pun agak terkaget. Tapi, ia berusaha tetap tenang.

“Apa benar yang kau katakan?”

“Benar. Dan ia telah dibaringkan di sebuah batu, perutnya dibedah sambil dibolak-balikkan.”

Seketika itu pula wajah Halimah pucat. Ia pun berlari menuju tempat yang diceritakan itu. Tak butuh waktu lama, ia pun sampai di tempat yang diceritakan itu.

Di sana, ia melihat Muhammad yang terdiam, Halimah pun berusaha menenangkannya.

“Apa yang telah terjadi, Anakku.”

Muhammad melihat wajah Halimah. Kemudian merangkulnya. Lalu, dengan agak terbata-bata ia menjawab, ”Dua orang itu berbaju putih. Ia berusaha mengambil sesuatu dari tubuhku.”

“Apakah itu?”

“Aku tidak tahu, Ibu.”

Halimah pun merangkulnya sekali lagi. Ia pun sebenarnya ketakutan dan takut jika anak ini sedang kesurupan atau ada keanehan lain yang tidak mengerti. Untuk itu, ia bersepakat dengan keluarganya untuk mengembalikan Muhammad kecil ke Makkah.

Kelak, selepas Muhammad kecil tumbuh dewasa dan diangkat menjadi Rasul, baru ia mengerti bahwa dua orang berbaju putih itu adalah malaikat yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mencari dan mengangkat keburukan dalam dirinya.

*Diceritakan ulang dari biografi Sejarah Hidup Muhammad karya Mohammad Husain Haekal oleh Dedik Priyanto, alumni Pesantren Attanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro.

Anda Sedang membaca Cerita

Kisah Masa Kecil Rasulullah Dan Ibunya

SEMOGA BERMANFAAT
Sumber : www.nu.or.id

Kategori

Kategori