Karya Tutut Setyorinie
“Apa ini, Key?” tanya Nessa yang sedang berada di rumah sohibnya, Keyla.
“Ini adalah negeri mimpi. Dimana semua mimpi-mimpi langsung menjadi nyata.” jawab Keyla yang masih asyik mengotak-atik handphone yang ia genggam sejak tadi.
“Hah yang benar saja kamu. Memang gimana ciri-ciri negeri mimpi itu?” Nessa tampaknya masih penasaran tentang hal yang barusaja ia dengar, walau sebenarnya ia masih tak percaya akan semua ini. Terlebih karena Keyla sering berkhayal tentang sesuatu yang belum pasti adanya.
“Tempat yang begitu indah, tenang dan damai. Hehe..” ucap Keyla sambil menggerakan tangannya seakan menjabarkan keindahan tempat itu.
“Apa kamu pernah kesana?” tanya Nessa
“Ya, aku sering kesana. Disana adalah tempatku untuk bermimpi supaya dalam dunia menjadi nyata.”
“Oh ya? Memang itu dimana?”
“Sebenarnya negeri mimpi itu berada di otak manusia masing-masing. Disana berjuta mimpi tercipta, disana pula mimpi-mimpi semakin nyata.”
“Ah kamu ada-ada saja Key.”
“Oh iya, apa kamu masih yakin, Ibu mu masih hidup disana?”
“Yakin banget Nes!” Keyla berucap mantap seakan tak ada keraguan yang tampak dari sorot matanya
“Tapi kan, nggak ada yang selamat dari gempa itu. bukannya aku ngecewain kamu. Tapi.. Cobalah, kamu terima realita yang ada.” tambah Nessa
“Nessa, kenapa kamu selalu membahas tentang itu. Kamu itu sahabat aku Nes, seharusnya kamu dukung aku dong. Aku selalu bermimpi, dan mimpiku mengatakan bahwa ibuku masih hidup disana. Aku yakin itu, Nes.” Keyla menaikan nada bicaranya.
“Keyla! Kamu emang sahabatku. Tapi kamu harus tau, aku benci mimpi. Aku benci khayalan. Hidup itu realita Key. Pikirlah secara logis, yang dapat diterima nalar. Khayalan itu.. Khayalan itu cuma angan-angan yang dapat membuat kita jatuh karena ngaak bisa untuk menggapainya.” Nessa bersikeras mempertahankan argumennya.
“Sudahlah! Aku memang hidup dalam mimpi. Tapi mimpiku selalu menjadi nyata. Itu yang membuat ku percaya pada semua mimpi-mimpi.” Keyla memalingkan wajahnya dari Nessa, untuk mencoba mencari sedikit ketenangannya.
“Kalau kamu memang benci mimpi, aku nggak bisa melarang. Tapi, waktu akan membuktikan bahwa ibuku itu masih hidup!” lanjut Keyla dalam setengah isakannya.
Memang begitu sulit menyatukan 2 orang yang benci terhadap mimpi dengan orang yang selalu hidup dalam mimpi dalam satu ruang persahabatan. Tapi, dengan kuasa Tuhan yang telah mentakdirkan merekan menjadi sepasang sahabat yang saling mengisi. Walau perbedaan terlihat jelas dalam presepsi hidup mereka.
Ya, perbedaan memang tak dapat dipungkiri dari setiap persahabatan. Tapi, itulah yang membuat persahabatan menjadi penuh warna.
Malam menjemput. Rintik hujan menemani kesunyian malam itu. Tapi, Nessa tetap saja belum bisa tidur, walau detak jam telah menunjuk angka 23:50. Ia masih memikirkan ucapannya tadi. Ia merasa takut, jika ucapannya itu akan menyakiti sekaligus meretakan mimpi sahabatnya itu.
Hatinya terus bergejolak. Ia masih terus berusaha menutup kedua katup matanya. Tapi, ia masih tak bisa. Mungkin karena rasa sayang Nessa terhadap sahabatnya itu terlampau besar. Jadi ia begitu gelisah, jika sedikit saja melukai hati sahabatnya.
Pagi-pagi sekali, Nessa menghampiri rumah kediaman Keyla. Berharap Keyla masih berada disana. Karena ia ingin sekali mengucap maaf pada sahabatnya itu.
“Tok-tok-tok !!” Pintu itu bergetar kuat akibat ketukan tangan Nessa.
Tak ada jawaban. Nessa mengetuknya sekali lagi. Kali ini, ia mengetuk lebih kuat daripada sebelumnya, hingga kaca jendela yang berada disampinya pun ikut bergetar juga.
Tapi.. Lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya Nessa melangkahkan kaki dengan lemas menjauhi rumah Keyla. “Mungkin Keyla sudah berada di sekolah.” gumam Nessa disela kepasrahannya.
“Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin Key. Aku benar-benar tak bermaksud untuk mengucapkannya.” Ucap Nessa yang masih memandang ke arah bawah, mencoba mencari sesuatu yang dapat membuat objek perhatiannya.
“Iya, lagian juga aku udah memaafkannya. Tapi, kenapa kamu begitu benci dengan mimpi? Mimpi itu indah menurutku.” Ucap Keyla yang masih sibuk membolak-balikkan komik yang dipegangnya erat
“Ya.. Aku juga ga tau. Aku begitu benci terhadap mimpi. Terhadap semua khayalan dan angan-angan. Aku benci terhadap semua hal yang nggak pasti.”
“Tapi kan, mimpi itu harapan. HIdup perlu harapan bukan?”
“Ya mungkin.. Tapi..”
“Cobalah bermimpi Nes! Aku yakin, hidupmu lebih bewarna dengan semua mimpi-mimpi.” Keyla masih membujuk Nessa.
“Entahlah. Yang penting, aku sebagai sahabatmu. Aku akan mendukung mimpimu, bahwa ibumu masih hidup.” ucap Nessa dengan semangatnya.
“Terima kasih Nes.” Keyla memeluk Nessa dengan kasih sayang nya yang begitu tulus sebagai seorang sahabat.
Jam berdentang sempurna. Mengalunkan kenangan kisah penuh suka duka. Menjabarkan keindahan yang dibalut rasa persahabatan. Sahabat.. Sahabat itu selalu ada, ketika orang lain tak ada padamu. Sahabat itu selalu mampu, mendekapmu dalam kesepian, melindungimu dalam cemoohan dan mengukir indah senyum di bibirmu.
Sahabat itu orang yang selalu kita remehkan tapi sebenarnya kita tak mampu melalui hari tanpa seorang sahabat. Sahabat itu orang yang selalu mengerti masalah kita tanpa pernah kita ucap. Ia selalu mengulurkan tangannya di saat kita terjatuh, walau terkadang ego kita mengalahkan nurani untuk tidak menerima uluran tangannya. Sahabat.. walau tak bisa kita pungkiri, kita sering melukai sahabat, tapi sahabat tetap mampu mengobati lukanya sendiri dan tidak menunjukkan pada kita karena ia takut kita merasa bersalah. Itulah Sahabat.
Fajar menampakkan diri. Mengiringi sang raja siang keluar dari peraduannya. Menjatuhkan embun yang ‘kan membasahi tanaman. Menebar oksigen segar yang siap dihirup jutaan jiwa.
Begitu indah Tuhan menciptakan alam semesta ini, sama indahnya Tuhan menciptakan rasa saling menghargai, menyayangi dan melindungi dalam suatu kata yang disebut persahabatan.
“Kamu kenapa murung gitu Nes?” tanya Keyla sambil menekuri halaman demi halaman dari Koran yang masih melekat kuat di tangan kirinya.
“Ngg..” Nessa berusaha berucap tapi Keyla lebih dulu memotongnya.
“Nessa, lihat!” ucap Keyla sambil memperlihatkan berita yang baru saja ia baca dari korannya.
“Seorang wanita ditemukan selamat dari reruntuhan gempa di Balikpapan.” Nessa mengeja berita yang ditunjukkan Keyla.
“Kamu lihat, Nes! Itu pasti ibuku. Ayo kita berangkat kesana.” Keyla langsung menarik tangan Nessa yang masih berusaha mencerna kalimat yang baru saja ia baca.
“Udah.. Ayo!”
Akibat gempa dahsyat yang melanda kota Balikpapan 1 minggu yang lalu, rumah sakit ini jadi penuh sesak. Para kerabat dan sanak keluarga berdatangan mengisi lorong-lorong kosong di rumah sakit ini. Berharap saudara mereka masih selamat dari gempa itu.
Banyak korban berdatangan silih berganti. Naasnya korban itu tak lagi bernyawa. Hanya duka dan isak tangis yang menjadi harapan mereka yang masih belum menemukan sang saudara.
Begitu berbeda dengan Keyla. Seorang anak yang masih mengenakan seragam putih biru, yang begitu percaya dengan kekuatan mimpi.
Mimpi dan terus bermimpi, ibunya kan kembali lagi ke sisinya seperti dulu kala. Dan mimpi itu menjadi nyata. Ibu dari Keyla menjadi satu-satunya korban gempa yang selamat sampai saat ini. Hatinya begitu bahagia. Ia semakin percaya pada kekuatan mimpi-mimpinya.
“Ibu.. Aku kangen banget sama ibu.” Keyla memeluk ibunya yang masih berselang infus di hidungnya.
“Ibu juga kangen sama kamu, nak.” Sang ibu pun melepas rindunya pada anak semata wayang nya ini.
“Eh.. ada Nessa. Makasih ya Nes, selama ini kamu pasti sudah jagain Keyla.”
“Iya sama-sama tante” Hati Nessa pun seakan lega juga, walau sebenarnya pilu sedang menyerang lubuk hatinya.
Suara burung yang bersahut-sahutan mengiringi kepulangan sang raja siang ke Singgasana nya. Memaparkan cahaya senja dengan degradasi warna sempurna. Daun-daun kecil itu pun mengatup, seakan tahu, kan datang malam yang begitu temaram.
Tapi.. Dibalik itu semua, linangan air mata tengah menghiasi pipi tirus Nessa. Sejak ia melihat nama ayahnya terpampang sebagai salah satu korban dari kecelakaan pesawat yang jatuh terbakar di pedalaman hutan Kalimantan, Kristal bening itu tak henti-hentinya mengalir dari kedua pelipis matanya.
Ia seakan tak percaya akan semua yang telah terjadi padanya. Memang begitu pahit rasanya untuk menelan berita yang telah memecahkan airmatanya itu.
“Ibu.. Kenapa harus ayah yang menjadi korban? Kenapa ngga aku aja? Kenapa bu?..” ucap Nessa disela isakannya.
“Nessa sudah nak. Kita memang hanya bisa berharap dan berdo’a. supaya Tuhan melindungi ayahmu.” jawab sang Ibu yang berusaha menenangkan hati anaknya yang sedang bergejolak itu.
Kini isakan Nessa semakin keras, hingga air matanya mampu menyapu seluruh wajah nya.
“Kalau aku yang jadi korban disana, pasti ayah akan menolongku. Tapi, kenapa ayah yang harus jadi korban. Sedangkan aku gak bisa menolong ayah.” Nessa masih saja menyalahkan dirinya. Ia bahkan ingin merubah Takdir yang sudah terlanjur terjadi padanya.
Angin malam menerpa tubuh Nessa yang begitu kelelahan karena hampir menangis sepanjang hari. Wajahnya pun terlihat sembab. Bibirnya terlihat pucat. Seperti tak ada lagi semangat yang tertanam dalam jiwanya.
“Sudahlah Nes. Jangan menangis lagi.” Keyla berusaha menenangkan hati sahabatnya itu.
“Ya tapi aku gak bisa tenang, Key. Ayahku itu..” ucap Nessa yang terpotong karena isakannya yang kembali menyeruak dari bibirnya.
“Aku mengerti.” Keyla memeluk Nessa. Ia seakan begitu tahu perasaan kalut yang sedang menerpa hati Nessa. Ia pun sengaja berbungkam. Membiarkan sang sohib mengutarakan semua kegelisahan padanya.
“Nessa apa kamu tau, keajaiban yang telah terjadi pada ibuku? Ya! Itu mungkin bisa terjadi pada ayahmu. Aku sangat percaya pada kekuatan mimpi. Cobalah impikan ayahmu menjadi seperti yang kamu mau.” Ucap Keyla yang masih membujuk Nessa mempunyai mimpi.
“Tapi apa dengan begitu, itu semua kan menjadi nyata?” tanya Nessa yang tampaknya kurang percaya pada ucapan Keyla tadi.
“Setau aku, mimpi itu sebuah harapan. Walaupun mimpi hanya sekedar imajinasi. Tapi hanya itu yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan.”
Nessa masih belum angkat bicara. Mungkin karena ini akan membuatnya menjadi seorang pemimpi. Ya! Suatu hal yang begitu ia benci dalam hidupnya.
“Ayolah, Nes! Hilangkan ego mu. Bermimpilah. Mimpi itu selalu nyata Nes. Lihat, disana pasti ada sebuah cahaya harapan yang dapat menuntun kamu mewujudkan inginmu.”
“Ingatkah, bila ‘Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa.’” ucap Keyla sambil menyanyikan sebuah lirik lagu.
Nessa menggangguk pelan. Satu senyuman pun berhasil terukir di wajah Nessa. Separuh semangatnya telah kembali dari diri seorang sahabatnya. Memang benar, Sahabat selalu mampu mengubah air mata menjadi senyuman!
Nessa pun berusaha bermimpi. Jika memang ini kan membuatnya menjadi seorang pemimpi, tak apalah. Ini demi ayah dan sahabatnya. Harapan pun teruntai dari fikirannya. Merangkainya menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang ia buat untuk pertama kalinya. Mimpi yang dulu ia begitu benci, kini ia mampu untuk melakukannya.
“Nessa, cepat lihat nak.” Ibu memanggil Nessa untuk segera melihat berita yang baru saja ia baca.
“Ada apa bu?”.
“Ayah.” Nessa melihat nama ayahnya yang terpampang jelas sebagai salah satu korban yang selamat di sisi koran yang ia baca.
“Ibu, ayo kita kesana.” Ucap Nessa dengan mata berbinarnya. Hatinya penuh bunga. Ternyata mimpinya menjadi nyata.
Dengan langkah cepatnya Nessa berusaha menemukan nomor ruang yang ditempati ayahnya. Ia sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan ayahnya.
“Ayah…” Nessa menghampiri ayahnya yang sedang terkulai lemah di atas ranjang dengan selang yang cukup banyak melekat di tubuh ayahnya.
“Ayah, bangun. Ini Nessa sama ibu udah dateng.” Ucap Nessa yang hampir mengaliri air matanya lagi.
“Ne..s..ssa” sang Ayah pun sadar. Ia berusaha berucap, walaupun ucapannya masih terbata.
“Ayah.. Nessa kangen sama ayah.”
“A..yah ju..g.a ka..nge.n sa..ma. kamu.. na..k” sang Ayah pun memeluk Nessa.
“A.ya..h me..nya.yangi..mu nak, ja..ga i..bu da..n adi..k mu ya. Ma..af ay..ah gak bi..sa me.ja..ga ka..li.an la..gi” ucap sang Ayah sambil berlinang air mata.
“Ayah ngga boleh ngomong gitu. Ayah harus kuat, ayah harus temani aku lagi.”
Ya, saat itu juga sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya dipelukan Nessa. Seketika terbayang harapan yang ia ukir dari mimpinya kemarin
“Ya Tuhan
Izinkan aku untuk memeluk ayahku kembali
Jika memang waktunya telah habis, aku akan ikhlas merelakan kepergiannya dalam pelukanku.”
“Keyla, terima kasih ya, sudah memperkenalkan aku dengan mimpi. Sekarang aku percaya pada kekuatan mimpi. Mimpi itu benar menjadi nyata, jika kita betul-betul mengingikannya. Mungkin jika aku memimpikan ayahku akan selalu ada untukku dan selalu berdiri di sampingku untuk lebih lama lagi, itu mungkin kan jadi kenyataan juga. Sayang, aku hanya memimpikannya ia hanya memelukku saja.”
Keyla pun tersenyum pada Nessa.
“Kini aku siap menjadi seorang pemimpi!” ucap Nessa dengan mantapnya.
Ya, kini tak ada lagi keraguan dalam hatinya untuk menjadi seorang pemimpi. Walau pembuktian itu begitu pahit ia rasakan. Tapi, dirinya telah yakin, untuk menjadi seorang pemimpi sejati.
Sahabat.. Sahabat itu ternyata begitu berpengaruh besar dalam hidup kita. Sahabat bisa mengubah benci menjadi suka. Sahabat bisa mengubah air mata menjadi tawa. Sahabat pun bisa mengubah ketidakpastian menjadi kepastian, bahwa ia kan selalu ada disamping kita untuk meyakinkan apa yang menurutnya benar, melarang apa yang menurutnya itu salah, dan selalu memberi cahaya dalam kebuntuan, menuntun kita pada sebuah cita-cita yang selalu kita harapkan.
END
Nb : Mimpi disini bukan mimpi di siang bolong yaa, Mimpi disini seperti sebuah harapan.
^ Happy Reading ^
Cerpen Karangan : Tutut Setyorinie
Facebook : Tutut Setyorinie