Cemburu Merindu

Karya Ruri Alifia R
Cemburu Merindu


Bilamana terakhir kali kulihat kau tersenyum padaku?
Bilamana terakhir kali kau sambut hangat teguranku?
Bilamana terakhir kali kau mencegatku hanya untuk mengajakku berbicara?
Bilamana terakhir kali situasi masih sama seperti dulu?

Ya, berubah.

Rasanya aneh menilik histori beberapa bulan terakhir saat kita masih bisa berperilaku seperti biasa layaknya remaja putra dan putri yang masih baru sama-sama mengenal. Kau dan aku yang menemukan hal baru. Kau dan aku yang tertawa lepas. Kau dan aku yang saling membantu. Kau dan aku yang masih ada dalam zona nyaman itu.

Namun kini, aku merindukan masa-masa itu.

Seperti melecut drastis dari ekspektasi. Ibarat dua orang yang tak lagi tahu satu sama lain. Bak orang asing. Terpojok lantaran keadaan. Tidak, aku bukannya ingin memilikimu. Tapi hati ini tak pelak menuntut lebih dari segala hal manis yang pernah kita lewati. Atau cukup kusebut manis untuk diriku sendiri?

Aku ingin hal itu terulang lagi, wahai kamu. Aku ingin bisa menyawakan hari-hari manis itu kembali. Aku ingin kamu juga turut merasakan hal-hal manis tersebut. Aku berharap jua ada kembang api yang berpetasan dalam dadamu saat mengalami peristiwa sederhana itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat?

Tak ada yang salah dalam kasih terhadap seseorang yang terpilih tanpa syarat dari hati. Kenyataan hakiki yang bawaku berperilaku berbeda terhadap kamu. Mungkin aku terlalu penasaran akan apa yang terjadi di hidupmu atau bagaimana kamu yang dulu. Itu alami. Sesuatu tak sama yang pernah kulakukan terhadapmu, semua membumbung atas dasar ikatan yang masih tak teridentifikasi bagiku. Hanya kagum? Telah menyayangi? Atau, terlampau mencintai?

Ada waktu dimana aku sangat ingin menangkup dalam-dalam kasih yang bermekaran sesak ini. Dan ada waktu pula dimana aku ingin kamu mengetahuinya.

Terlepas bahwa itu akan menurunkan harga diriku sebagai wanita. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku mencoba untuk tak memedulikannya. Aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku berusaha untuk memerbaikinya. Namun semua berbuah tak berguna. Bisakah kamu membantuku mengetahui apa nama rasa tatkala pilu mengunjungi kita di saat mengingat senyuman orang yang selama ini selalu kamu fikirkan?

Egoiskah tindak-tandukku? Benarkah cinta mampu melumpuhkan akal sehat? Atau, benarkah cinta hanyalah serangkum frase yang selalu bisa buatku terbang dan terkekang di saat yang sama?

Setidaknya, sekarang aku tahu apa yang aku mau. Memikirkanmu hanya mampu buatku candu. Menggertakkan genggam yang sebelumnya kupegang teguh. Kamu akan selalu terpatri dalam hati, namun saat kumerasa kamulah penghalangku untuk maju, haruskah aku membiarkanmu pergi seperti yang lalu? Haruskah aku melupakan kamu? Haruskah aku berhenti memikirkan kamu? Haruskah aku menghapus memoar-memoar indah itu?

Kamu tahu? Aku cemburu. Cemburu terhadap masa yang lalu. Saat kita masih bersama tanpa ragu.

Cerpen Karangan: Ruri Alifia R
Anda Sedang membaca Cerpen

Cemburu Merindu

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Ruri Alifia R
Cerpen Karangan Ruri Alifia R Lainnya

It's You

*Its's You*
Karya Ruri Alifia R
It's You


“Contoh Kak Harry! Dia anak rajin dan selalu jadi juara kelas! Kamu? Nilai nggak pernah jauh dari D-E-F. Mau jadi apa sih kamu?”

Olokan mama kembali terngiang dalam benakku. Kak Harry-Kak Harry-lagi! Cukup! Ini sangat menjenuhkan! Mama selalu membanggakannya, menyayanginya, memperhatikannya, memilihnya…Kapan giliranku?

Untuk sekali lagi, aku putus asa.

Ini adalah keputus-asan yang selalu kudapatkan di rumah. Sepertinya aku tak perlu hidup lagi. Sia-sia saja apabila aku hidup tanpa seorangpun yang mengertiku, menginginkanku, mendukungku.. Semuanya sia-sia!

Di sinilah aku sekarang. Berpijak di kesepian taman Hyde London. Hujan November masih mengguyur deras. Menghembuskan angin-angin malamnya menemaniku terisak di bawah rindangnya pohon maple dengan hanya terlindung oleh payung hazel. Aku memutuskan kabur dari ‘neraka’ tuk menemui seseorang kemari. Seorang yang paling mengerti kondisiku kini. Seseorang yang-sebenarnya-belum pernah kutemui sebelumnya. Keputusan yang cukup gila, bukan?

Namun entah mengapa-dengan mudah aku mempercayainya. Apa karena hanya dia satu-satunya yang memperhatikanku meskipun hanya terperantarakan oleh web dan jaringannya? Mungkin.

Tapi yang paling penting sekarang-aku bisa menemukan seseorang yang dapat kugantungkan tuk sementara ini. Jujur, benakku tercampur-baur oleh banyak hal. Tugas sekolah menumpuk, ancaman pem-bully-an teman-temanku, neraka di rumahku… Astaga, fikiranku kalut!

Kumohon, aku hanya butuh seseorang sekarang. Cepat datanglah..

“Nadya?” Saat menoleh melihat siapa yang memanggilku, sontak aku terkesiap. Refleks cengkraman payungku terenggangkan. Manik berairku membelalak lebar. Tenggorokanku tercekat. Degup jantungku melonjak hebat.

Mengapa dia di sini?

<——–>

“Kapan kamu bisa kayak kakakmu? Belajar nggak pernah, hari-hari ngelaptop. Bener aja kamu nggak bisa pinter.”

Aku emang ngga pinter.. Nggak punya bakat.. Nggak berguna.. Selalu lemah.. Selalu kalah.. Selalu.. Argh, kapan sih mama bisa berhenti membandingkanku dengannya? Sama kak Harry yang selalu dipuja-puja itu?! Kapan?!?! Mending menghilang dari muka bumi ini aja daripada dituntut terus jadi manusia kriting itu.

Udahan ah post curhatanku yang isinya ini-ini muluk. Dosa ntar yang baca. *Loh, emang ada ya?*

EdwardCullun said:

Kak Harry lagi? Depak aja dia gimana? Geregetan banget bacanya.. Huss, setiap orang pasti punya bakat kok. Termasuk kamu. Kamu nggak boleh bilang begitu. Karena setiap orang di dunia ini dilahirkan buat meraih tujuan hebat hidupnya yang masing-masing pasti berbeda. Fighting! I’m sure you can!
NB: Ini ada loh yang baca. Sesuatu banget gitu yah nggak dianggep.

Senyumku mengembang kala kubaca ulang salah satu postingan-komentar di blogku itu. Anonym yang selalu menggunakan nama samaran tersebut tak pernah absen mengomentari segala curhatanku. Bukan kali pertama Kak EdwardCullun itu memberiku saran bijak dan motivasinya yang-ehm-jujur merupakan satu-satunya hal yang sanggup membuatku semangat menjalani lika-liku hidup.

Perlu kau ketahui, rangkaian kata dalam curhatanku di atas bisa dikategorikan halus bahasanya dibanding dengan postingan pertamaku yang penuh umpatan. Well, aku berubah menahap juga karenanya. Satu-satunya manusia terbaik budinya dalam hidupku..

Kenalkan aku Nadya. Anak kandung pertama dari keluarga kecil yang mendiami Jantung Kota London. Aku paling benci dengan seseorang yang kuhindari di rumah. Ialah Harry-kakak angkatku. Mengapa? Karena sejak kecil aku selalu dibanding-bandingkan dengannya. Bahkan sampai di umurku yang ke-15 tahun-sekarang. Kenyataan bahwa aku selalu berada di bawahnya. Tak perlu diherankan mengapa. Itu karena pribadi kami yang-memang-jelas bertolak-belakang.

Contohnya saja.. Dia aktif, populer, rajin dan pintar. Aku malah pasif, terbully, malas dan bodoh. Yang paling berbeda ialah saat kami masuk kamar. Ia ada di kamar untuk belajar dan tidur, sedangkan aku untuk ‘hidup.’

Seharusnya orangtuaku sadar bahwa aku dan ia memang berbeda. Sehingga mereka tak perlu repot memotivasiku dengan keberhasilannya.

Jadi, tak ada alasan untuk menganggapnya sebagai kakakku, kan? Kalau diamati, dialah yang telah membuatku menjadi seperti ini. Jika saja ia tak pernah ada, aku yakin aku tak akan begini-tapi masalahnya akan berbeda apabila begitu.

Oh sebentar.. Ada chat Y!m masuk!

“Lighten up!”

Seketika senyumku merekah lagi. Mengetahui bahwa masih ada yang peduli padaku di muka bumi ini. Coba tebak siapa yang mengirimnya? Benar, Kak EdwardCullun.

Buru-buru kunyamankan dudukku di atas kasur dan membenarkan letak laptop di hadapanku. Lalu kuketikkan rangkaian kata tuk membalas chatnya. Well, aku telah menjalani hubungan seperti ini-dengannya selama kurang lebih tiga tahun-semenjak kumengenal internet. Dan selama itulah aku merasa dekat dengannya meskipun kami tak pernah bertatap-muka. Aku sering mengajaknya bertemu tuk hanya sekedar tahu rupanya, tapi-sialnya-ia selalu berhasil mengalihkan pembicaraan tersebut.

Tetap berhubungan dengan satu-satunya penyemangat hidupku, tak salah kan?

<——–>

Untuk beberapa detik, aku hanya bisa termangu di tempat. Mendapati seorang yang terlapisi jaket tebal berkupluk di hadapanku adalah seorang yang selama ini menjadi bagian penting hidupku. Ya Tuhan, mengapa bisa..

“Ayo kita pulang.” Tukasnya melihat kegamangan dalam bola mataku. Buru-buru aku menangkis tangannya yang meraih pundakku. Kemudian berusaha berlalu cepat dari tempatku berdiri. Sial! Mengapa kedaan seolah kian merumitkan hidupku? Mengapa..

“Nadya, mama khawatir.” Ucapnya tepat saat ia berhasil meraih pergelangan tanganku hingga menyebabkanku berhenti melangkah. Namun, aku hanya diam menanggapi. Jujur, aku benar-benar tak habis fikir dengan apa yang diperbuatnya hingga.. “Kakak ngelakuin semua ini beralasan. Kakak harus tahu kenapa selama ini kamu ngehindar dari kakak…”

“Untuk apa? Kau bukan kakak kandungku!” Teriakku gusar memotong penjelasannya-saat memutar tubbuhku menghadapnya.

“Gimana kalo ternyata kakak emang peduli sama kamu?” Sebuah kalimat yang sukses membuat pendirianku runtuh. Air mataku berderai menyatu dengan tetesan hujan yang menuruni wajahku. Dan aku terisak dalam dekapannya. Tidakkah sakit bagimu bahwa seseorang yang paling kau benci-ternyata-menjadi orang yang paling kau sayangi juga?

“Tapi kakak nggak harus pake nama samaran..”

“Dan kamu harusnya hati-hati sama user kayak gitu, kan? Nadya, nggak boleh lagi kamu percaya sama orang seperti itu. Kamu juga harus nata setiap postingan di blogmu. Selamanya mereka akan tercatat di search engine, Nadya. Memang, kakak Pseudonimitas, tapi komentarku lebih bijak dan terarah daripada curhatanmu.” Jelasnya panjang lebar menatap mataku lekat. Ini sulit dipercaya.. Seorang yang ku benci di hadapanku ternyata menjadi satu-satunya orang yang peduli padaku selama ini? Jadi Kak Harry-lah yang… Astaga, aku egois. Aku sungguh berdosa.

“Maaf kak..” Ucapku kehabisan kata menanggapinya. Tapi ia hanya tersenyum dan menuntun jalanku menuju mobilnya. “Tapi aku boleh kan sayang Kak Edward?” Tanyaku di dalam mobil yang mengundang tawa manisnya. Tak disangka, akhirnya kebahagiaan mengunjungiku hari ini.

Aku akan jadi perempuan yang kakak mau, kak. Aku janji. Ikrarku dalam hati kala ia menggegam hangat tanganku di tengah konsenterasinya membelah derasnya hujan jalanan Kota London.

Cerpen Karangan : Ruri Alifia R
Anda Sedang membaca Cerpen

It's You

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Ruri Alifia R Cerpen Karangan Ruri Alifia R Lainnya

Cerpen Pagi Kuning Keemasan

*Pagi Kuning Keemasan*
Karya Ruri Alifia R
Pagi Kuning Keemasan

“Badrol! Yok cari karang!” Seru Kentang pada sohib akrabnya yang kini tengah menengadahkan kepalanya mengarah ke mercusuar. Melihat kawannya tak merespon, Kentang-pun setengah berteriak, “Woy! Lihat apa pula kau?”

“Tak-tak ade, Tang. Yok, udah. Kite cari udang sekarang!” Ucapnya terkejut karena mendadak tersadar dari lamunannya. Gadis teropong itu.. Kemane?

Sempurne kali pagi ini. Batin Badrol menikmati emasnya langit yang terpayung penuh oleh kuning mentari. Selaksa langit tanpa awan seolah memberi daya magis memesona. Maniknya nyaris tak berhenti mengagumi keindahan alam sang pencipta. Dilengkapi dengan indahnya Pulau Lengkuas yang tergambar sempurna melalui kornea matanya. Sungguh sempurne, tak ade yang berubeh. Semua masih kayek dulu.

Sejauh mata memandang, penyelam muda itu terhipnotis dengan jernihnya laut biru yang menguning karena permukaannya tersapu pancaran mega dunia. Bola matanya sekan tak bosan menjelajahi pertunjukkan terumbu karang yang akan selalu nampak indah alami di bawah sana. Dengan bermacam-rupa ikan yang menari-nari bersama kawanannya. Benar-benar momen yang selalu sanggup mengobati kerinduan hatinya terhadap seseorang di atas sana.

Baik, sudah waktunya ia mengusaikan kekaguman akan hamparan pemandangan elok di depannya. Dirinya harus kembali pada tujuan awalnya. Apalagi tujuan Badrol kemari kalau tak menyelam mencari karang?

Badrol mulai pemanasan ringannya. Beberapa gerakan tapi tiba-tiba berhenti saat menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku saat itu juga..

Kamera? Batin Badrol mendapati sebuah lensa besar-panjang di salah satu jendela mercusuar. Ketajaman matanya bergerak cepat meneliti benda itu lagi. Amboi, siapa gerangan yang sudi bangun di pagi buta seperti ini serta rela menaiki beribu tangga rumit hanya untuk mencapai salah satu jendela sempitnya? Sejenak, fikiran pemuda itu melayang kembali ke masa dulu. Saat sang ibunda masih menjadi penjaga abadi menara tua itu.

Dulu Badrol tinggal bersama ibunya di Pulau Lengkuas menawan ini. Sebenarnya mereka tak hanya hidup berdua. Ayahnya sempat menemani tahun-tahun pertama Badrol duduk di sekolah dasar hingga akhirnya pergi meninggalkan dirinya serta sang bunda dengan membawa paksa adik bayinya yang saat itu masih berumur lima tahun. Sampai sekarang, ia yang telah hidup sendiri selama bertahun-tahun masih tak tahu bagaimana kabar ayah dan adiknya tersebut. Sungguh ironi. Seorang pemuda berumur lima belas tahun sepertinya harus menanggung semua biaya hidup sendiri, sebatang kara tanpa seorangpun peduli.

Perempuan? Bantinnya lagi saat ia mendapati wajah tersembul setelah kamera tersingkirkan dari mata sang fotografer. Seketika, jantungnya berhenti berdetak.. Matanya membelalak lebar.. Ia seperti merasakan sesuatu hangat tentang kabar bahagia yang entah mengapa terbesit begitu saja dalam benaknya. “Kalo pagi menguning emas ade perempuan naik ke mercusuar itu sendiri.. Pertanda-lah, itu, Drol..” Kalimat terakhir ibunya terngiang lagi dalam fikiran lelaki itu.

Pertande? Pertande ape? Oh, ayoleh. Badrol memang sama sekali tak percaya dengan ‘keajaiban.’ Lebih baik membuka mata bagi yang nyata-nyata saja daripada terlarut dalam awang-awang dunia khayal.

Brenti berfiker yang tak-tak, Drol! Jangan kau rusak pagi sempurne ini! Pemandangan indah ini-merupakan satu-satunya hal yang dapat mendekatkan Badrol dengan sang ibu. Momen favoritnya dikala matahari berpijar sempurna. Yang mana dulu, adiknya dan dirinya sendiri lahir di saat seperti ini. Sebuah pagi kuning keemasan yang selalu sanggup mendamaikan hatinya.

Ibu, andaikan kau di sini…

“Drol!” Lagi-lagi Kentang mengagetkan Badrol. Membuyarkan lamunannya yang masih terarah pada bangunan tua tinggi menjulang di darat sana. Badrol terkesiap. Hampir saja hasil tangkapannya kabur lagi. Oh tidak, ia masih memikirkan gadis teropong itu. Menghubung-hubungkan kalimat almarhumah ibunya dengan apa yang dilihatnya kemarin.

“Oh ye-ye, Tang. Balik tak? Sudeh banyek nih.”

“Ckckck, kau tak sehat, Drol.” Ucap Kentang mengejek yang hanya disahut kekehan kecil oleh Badrol. “Drol?”

“Iye ape?” Jawab Badrol saat mereka mulai menghitung hasil tangkapan di atas pasir.

“Kau punya adik perempuan?” Seketika Badrol terkejut mendapati Kentang bertanya demikian. Manik kawan Badrol itu nampak nanar melihat sesuatu di belakangnya.

“Ini Kak Badrol?” Ucap seorang gadis muda tepat saat pemuda penyelam itu menolehkan kepala ke belakang. Dan ia mendapati.. Ia mengenali gadis itu! Seorang adik kecilnya yang kini telah berubah mencadi wanita cantik modern dengan titisan wajah sang ibu. Tanpa berkata apapun, buru-buru Badrol peluk adik kesayangannya itu. Sekitar sepuluh tahun mereka berdua terpisah dan selama itu pula Badrol menjalani hidupnya sendiri tanpa seseorangpun di sampingnya. Tapi kini.. Semua seakan mimpi. Ia bahkan tak percaya bisa bertemu lagi dengan satu-satunya saudara yang ia miliki.

Ibu, kau selalu benar. Itu memanglah pertande. Pagi kuning keemasan itu pertande. Pertande kudapat kembali lagi kebahagiaan itu.

Cerpen Karangan : Ruri Alifia R
Anda Sedang membaca Cerpen

Pagi Kuning Keemasan

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Ruri Alifia R Cerpen Karangan Ruri Alifia R Lainnya

Surat Terakhir

Karya Randika
Surat Terakhir

Poooss…!
Teriakan tukang pos membangunkanku dari tidur siangku, aku yakin sekali surat kali ini untukku.
Ini pasti dari sahabatku,Dini. Aku dengan Dini sudah hampir setahun saling bertukar surat, awalnya kami berkenalan dengan tdak sengaja, pada awalnya aku mendapat surat tidak dikenal, saat aku cek ke kantor pos, ternyata surat itu memang nyasar.
Surat itu dari Dini yang bermaksud mengirimnya kerumah neneknya, kebetulan alamatnya hampir sama dengan alamat rumahku.
Semenjak saat itu kami menjadi teman pena, Dini dan aku mempunyai hobi yang sama yaitu menulis.

Yup, ternyata benar surat itu dari Dini, segera saja aku membuka amplop yang berwarna biru. Aku dan Dini sepakat jika memakai amlop yang berwarna biru jika saling berkirim surat.

23 November 2009
Anna, tak terasa hampir setahun kita saling berkirim surat. Aku sangat senang sekali kejadian yang kebetulan setahun yang lalu, menjadi kebetulan yang sangat indah bagiku

Oh ya, bulan depan aku berencana mengunjungi kotamu,aku ingin menghabiskan liburan di rumah neneku, dan aku juga berencana mengunjungimu, aku sangat ingin beremu kamu secara langsung
Sekian dulu yaa, aku menunggu balasanmu
Salam hangat,
Dini..
Waaah, aku senang sekali membacanya, ternyata Dini akan mengunjungi bulan depan.
Segera saja aku bilang kepada ibuku tentang rencana Dini yang akan berkunjung kesini, setelah itu aku langsung menulis surat balasan kepada Dini.

27 November 2009

Diiiniiii, wah aku senang sekali kamu mau mengunjungiku, tentu aku bersedia, aku juga telah bilang kepada ibuku, ibuku juga senang, aku harap nanti kamu akan menginap dirumahku selama beberapa hari, aku mempunya segudang rencana menarik untuk kita lakukan bersama.

Kamu akan kesini bulan depan kan? Itu berarti beberapa hari lagi.
Hati hati di jalan ya Dini. Salam hangat
Anna.
Tidak terasa hari ini hari terakhir sekolah sebelum liburan, berarti Dini akan kerumahku beberapa hari lagi, aku segera mandi dan berpakaian untukpergi kesekolah, sebelum itu aku sarapan sebentar lalu berpamitan ke orangtuaku untuk pergi kesekolah.
Kebetulan jemputanku juga sudah datang.

Akhirnya pengumuman dari sekolah yang aku tunggu tunggu datang juga, sekolah akan libur akhir tahun, teman-teman disekolahku sangat ramai, tidak salah lagi, mereka bercerita rencana mereka saat liburan nanti.

Tak terasa bel tanda akhir sekolah sudah dibunyikan, keadaan kelas makin ramai saja. Setelah mengucapkan selamat liburan, kamipun naik mobil jemputan masing masing.
Di tengah perjalanan aku teringat mimpiku tadi malam, di mimpiku aku melihat Dini memakai gaun putih yang indah dan tersenyum padaku, tapi makin lama sosok Dini makin jauh, aku mencoba mengejarnya tetapi tidak bisa .

Mengapa ya, aku bermimpi seperti itu tadi malam.
“ah, mungkin aku terlalu senang Dini akan mengunjungiku” pikirku.

“aku pulaaang…” teriaku.
“Tidak seperti biasanya, biasanya ibuku selalu menyambutku saat aku pulang sekolah”. Ternyata ibuku ada diruang keluarga. Disitu aku melihat ibuku menangis sedih.
“ada apa bu??” desakku.
Ibuku menatapku, lalu berkata “anna, ibu harap kau tabah”.
“ada apa bu, ada apa??” tanyaku setengah berteriak, karena aku bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“temanmu,Dini, telah mengalami kecelakaan pesawat” kata ibuku terisak-isak.
“apa?” kataku heran.
Lalu aku segera mengambil remote tv yang tergeletak disitu dan segera menyalakan tv. Di TV ditayangkan gambar yang sangat mengerikan, sebuah serpihan pesawat yang terombang-ambing di laut lepas. Reporter di TV mengatakan pesawat itu telah meledak di udara, dugaan sementara tidak ada satupun korban selamat.

“tapi kan bu, belum tentu Dini ada di dalam penerbangan itu”tanyaku cemas.
“tidak, anna. Nenek Dini tadi menelpon ibu, dan menyampaikan berita ini” jawab ibuku sedih.

Tidak terasa, air mata telah membasahi pipiku, aku tidak bisa mengatakan apa-apa, disekelilingku terasa berputar, dan tiba-tiba gelap. Aku pingsan.

Tidak terasa sudah genap sebulan setelah kecelakaan pesawat itu, jasad Dini belum juga diketemukan, diliburanku kali ini, aku merasa tidak bersemangat karena kejadian tersebut, keluargaku mencoba untuk menghiburku, tapi itu sama sekali tidak bisa membantu.

Poooss…!!!
Teriakan tukang pos membuyarkan lamunanku.
“aku malas untuk keluar, biar ibu saja yang mengambil suratnya” pikirku.

Pooooss…!!!
“Urgghhh, mana sih ibu?” gerutuku.
Aku ingat, aku sedang sendirian dirumah,ibu sedang arisan RT.
Segera saja aku berlari keluar untuk mengambil surat itu.
Ternyata pak pos mengantarkan sebuah kotak yang ditujukan kepadaku.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada tukang pos, aku masuk dan membuka isi dari kotak itu.
Isi kotak itu adalah bungkusan plastik yang didalamnya ada kertas-kertas yang dijilid rapi dan sebuah amplop yang berwarna… HIJAU.

Aku membuka isi dari surat itu dan membacannya.

7 Desember 2009

sahabatku Anna, saat kamu membaca surat ini, mungkin ini menjadi surat terakhir dariku, maaf Anna, aku tidak bisa menepati janjiku untuk liburan bersama denganmu.

Anna, aku ada satu permintaan, semoga kamu menyanggupinya.
Kamu ingat kan, aku pernah bercerita kalau sedang menyelesaikan menulis novel,,
Aku ingin kamu menyelesaikannya.
Nah anna, meskipun kita belum pernah bertemu langsung, tapi kamu adalah sahabatku terbaiku.
Dan aku minta maaf karena tidak bisa menepati janji, terima kasih ya Anna, kamu telah menjadi sahabatku.
Salam persahabatan
DINI

Air mata kembali membasahi pipiku setelah membaca surat itu, dan aku mengambil kertas-kertas yang dijilid itu, itu adalah naskah novel yang belum
sempat diselesaikan oleh Dini.
“tentu Dini, aku bersedia dengan senang hati menyelesaika novelmu, aku akan mengerjakannya sebaik mungkin, semoga kamu tenang di alam sana” kataku dalam hati.

Yah, memang, didunia ini memang banyak kejadian yang tak terduga.
Persahabatanku dan Dini diawali dengan kejadian yang terduga, dan diakhiri dengan kejadian yang tak terduga juga.
Dan juga, di dunia ini tak ada yang abadi.
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, entah cepat atau lambat.

Cerpen Karangan : Randika
Twitter : @dikamazeltov
Anda Sedang membaca Cerpen

Surat Terakhir

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Randika Twitter : @dikamazeltov

Perbedaan

Karya Nurul Fatimah Az Zahrah
Perbedaan

“Fen, kita enggak bisa lanjutin hubungan ini. Sorry.” ujar Sheril ke dapan Fendi ketika mereka sedang berdua di suatu restoran pinggir pantai. Serasa jantung Fendi berhenti berdetak dan darahnya berhenti mengalir. Dia tidak menyangka, Sheril mengatakan hal tersebut di depannya secara langsung. Fendi terdiam. Dia tak menyangka secepat ini. Padahal usia pacaran mereka tergolong singkat.
“Fendi?” Sheril membuyarkan lamunan-lamunan tak terpercayanya Fendi.
“Sher, kenapa secepat ini?”
“Sekali lagi maaf Fen. Maaf banget. Aku enggak bisa lanjutin semua ini. Kisah kita, lebih baik berakhir sampai disini.” Setelah mengucapkan hal itu, Sheril memegang tangan Fendi, dan mengecupnya kemudian pergi meninggalkan Fendi seorang diri.

Kemarahan dan kesedihan kini menyelimuti hati Fendi. Dia marah karena Sheril meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Dia sedih, karena Sheril, wanita yang amat dia sayang pergi meninggalkannya. Fendi pulang kerumahnya dengan keadaan pucat dan bibir membiru. Ia tidak masih tidak percaya Sheril, memutuskan dirinya. Masih terasa kehangatan kecupan Sheril di tangan Fendi.

Sudah hampir sepekan Fendi putus dengan Sheril. Ia kini tampak lebih pucat dan malas makan. Ia lebih memilih banyak menghabiskan waktu di kelas daripada di tempat lain. Kesehatannya turun drastis dan ia tampak lebih kurus. Dani, sahabat Fendi bingung dengan sikap Fendi akhir-akhir ini.
“Hey sob. Lho sakit yah?”
“Hmm, enggak. Biasa saja.”
“Lah, kok kamu sampai pucat begitu sih? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita dong.”
“Mm, enggak ada apa-apa. Semuanya biasa-biasa saja.” Begitu terus jawaban Fendi.
“Hm, ok kalau kamu enggak mau cerita. Tapi, sob. Sebaiknya lho ke kantin deh sekarang makan. Kamu kayak orang enggak makan seminggu aja.”
“aku memang enggak makan selama seminggu ini.”
“Aduh, Fen. Kamu kenapa sih? Cerita dong! Tentang Sheril lagi? ya ampun. Lupain aja tuh anak. Boro-boro amat lo mau mikirin dia sob! Wanita adalah, ujian dari Allah untuk kita sob. Sabar saja.”
Dari mana Dani tahu? Aduh. Dani, dani. Pikir Fendi. Tapi perkataan Dani ada benarnya juga yah. Setelah lama berpikir, Fendi pun bangkit dari tempat duduknya.
“Yah, gitu dong baru Fendi. Kamu makan aja dulu sob. Ntar ada yang gue omongin. Atau lo gue mau anterin ke kantin? Ntar lo pingsan lagi. hehe :D” kata-kata Dani memang selalu dapat orang ceria.

Ketika dikantin, Dani memesan 2 mangkuk bakso dan 2 gelas teh. Ketika sedang asyik makan, Dani menyodorkan sepucuk surat bertuliskan nama Fendi. UNTUK FEDRIAN PUTRA CAKRAWALA.
“Fen, dibukanya ntar aja abisin dulu makanannya.” Ujar Dani. Fendi pun melanjutkan makannya.

Bel pulang sekolah pun akhirnya berbunyi. Ketika sampai di rumah, Fendi segera mengambil surat tadi. Dibelakangnya tertulis sebuah nama. SHERILA C. AURELINE. Kemudian Fendi membuka isi surat tersebut.

Dear Fendi,
Maaf aku telah mengecewakanmu. Aku minta maaf banget. Aku tahu kamu sedih. Tapi, perhatiin juga kesehatan kamu. Kata Dani, kamu tampak lebih kurus. sebenarnya, ada banyak alasan yang aku ingin kamu tahu mengapa aku memutuskanmu. Pertama, aku ikut ortuku pindah. Oke lah mungkin kita bisa LDR. Tetapi, masalahnya ortuku sekarang tahu, kalau kita melakukan sebuah hubungan berbeda agama. Kamu Islam, aku Kristen. Ortuku tidak menyetujui hal tersebut. Itulah mengapa aku memutuskanmu.
Tapi Fendi, ingat. Cinta tak mengenal itu semua. Bila Tuhan telah menakdirkan kita untuk bersatu selamanya, kita pasti akan bertemu kembali dan melanjutkan hubungan kita. Biarlah waktu yang mengatur semua itu.
Jaga dirimu baik-baik Fendi. Ingat kesehatanmu. Miss you..
Sheril ..

Tanpa sadar Fendi menitikkan air matanya. Kini ia mengerti tentang alasan Sheril. Kecuali alasan mengapa agama menjadi penghambat hubungan mereka. Tapi kini Fendi hanya dapat berharap semoga semuanya menjadi kenyataan dan dia dapat kembali bersama Sheril. Dan Fendi kini menjalani hari-harinya normal seperti biasa walau kehilangan 1 yaitu Sheril. Walaupun Sheril masih akan tetap di hati Fendi. Tetapi biarlah waktu yang mengatur semuanya..

Cerpen Karangan : Nurul Fatimah Az Zahrah
Facebook : Nurul Fatimah Az Zahrah
Anda Sedang membaca Cerpen

Perbedaan

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Nurul Fatimah Az Zahrah Facebook : Nurul Fatimah Az Zahrah Cerpen Karangan Nurul Fatimah Az Zahrah Lainnya

Love is Really Pain

Karya Nika Lusiyana
Love is Really Pain

Bulan purnama masih setia menggantung di atas sana dengan kepersikannya yang membias, melapisi legamnya langit yang bercorak awan-awan pembawa takdir. Lengkingan suara jangkrik yang khas sepertinya mendominasi kesunyian malam ini. Di sebuah kamar yang sederhana, sepasang mata tengah mengintai bola perak yang menjadi sasarannya. Deviolina, atau biasa di panggil Violin. Ya, ia tersenyum samar sekarang sambil menatap buram ke kaca jendela kamarnya, yang tertembus garis-garis sinar lembut sang dewi malam.

Dua tetes butir bening dari matanya yang sipit meluncur perlahan di kedua lengkung pipinya. Semakin lama, tangis Violin semakin tak sanggup ditahannya lagi. Semua terjadi begitu saja, ketika ingatannya kembali memutar sebagian kisah hidupnya yang terasa begitu miris. Entah kenapa, kini Violin merasakan ingatan itu malah semakin miris saja. Ingatan tentang sebuah kisah cinta yang tragis. Aaargh, Bisakah ia tak mengenang kisah itu lagi? Rasanya begitu sesak di sini, di dada yang menyimpan seribu perasaan indah untuk seseorang yang ia cintai namun tak bisa untuk dimiliki.

~ flashback ~

“kau…. kemana saja?” lirih Violin, “kemana saja kau selama 5 tahun ini, Park Hyun Sik?” lanjutnya lagi, pada pemuda di hadapannya yang tengah tersenyum cemas menghiasi wajah tampannya.

Violin menghela nafas sesaat, berusaha melegakan jalur nafasnya itu yang kini serasa sesak. Aneh. Ia tahu, seharusnya ia lega sekarang. Pemuda yang tanpa sadar mulai dicintainya 5 tahun lalu itu sudah kembali dari masa menghilangnya. Tapi, melihat gadis yang sedari melekat di sampingnya itu, menggelayut di lengannya yang kekar itu, membuat Violin merasakan sesak luar biasa. Dan ia tak mau mengkhianati perasaan cemburunya.

Pemuda bernama lengkap Park Hyun Sik itu menatap lembut wajah Violin, “aku… tidak. Maksudku… aku minta maaf karena tiba-tiba menghilang beberapa tahun lalu. Itu karena….” Ia tak melanjutkan kata-katanya dan malah melirik gadis di sisinya itu.
“Park, selama ini ia dijodohkan denganku.” lanjut gadis berambut hitam sebahu, “perkenalkan namaku Lee Hyu Na.” ucapnya lagi sambil tersenyum pada Violin dan menyodorkan tangannya untuk menjabat.

Violin menelan ludahnya dengan susah payah, dan berusaha keras menerima uluran tangan Hyuna yang ada di depannya. Hatinya benar-benar hancur mengetahui alasan mengapa pemuda itu menghilang selama ini. Dan rasa sesaknya di dada semakin menjadi, seolah mengalirkan nyeri tak tertahan di tiap nadi yang menyebar di tubuhnya.

“jadi….” suara Violin terdengar gemetar.
“awalnya, aku mencintaimu Violin. Awalnya, aku tak dapat menerima perjodohan ini. Sungguh.” ungkap Park memutus kata-kata Violin dan berhasil membuat gadis itu lemas seketika. Tapi kemudian, matanya memandang Hyuna dan tersenyum manis sekali, “tapi Hyuna, membuktikan kekuatan cintanya padaku dan merubah hatiku untuk menerima dengan tulus perjodohan ini. Perlahan, aku berusaha untuk menghilangkan rasa cintaku padamu. Hyuna yang membantuku dan kini, aku mencintainya. Benar-benar mencintainya. Mencintaimu, Lee Hyuna.”

Duaaarrr

Sebuah ledakan keras tepat terjadi di bagian paling dalam hati Violin. Begitu nyeri. Ingin rasanya semua ini adalah mimpi belaka. Tapi, sakit ini, nyeri ini, ngilu ini, begitu nyata dirasa. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menerima semua ini. Meski nyatanya ia tidak bisa. Ya, apalagi setelah mendengarkan pengungkapan dari pemuda itu bahwa ia sempat mencintai dirinya.

~ flashback off ~

Violin menggenggam foto di jemarinya erat. Foto Park Hyun Sik yang sangat ingin dilupakannya.

Dengan bertambah rendahnya purnama di ujung malam, kini bertambah sedikit pula waktu yang di miliki Violin untuk benar-benar menerima semua ini. Karena esok adalah hari dimana pertunangan Park dan Hyuna dilaksanakan.

Cinta, begitu nyeri bukan?

Cerpen Karangan : Nika Lusiyana
Facebook : Haruka Yuzu
Haruka Yuzu, hanya seorang yang mencoba membuat kenangan agar lebih indah dan lebih diingat
Anda Sedang membaca Cerpen

Love is Really Pain

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Nika Lusiyana Facebook : Haruka Yuzu Cerpen Karangan Nika Lusiyana Lainnya

Always Beside Me

Karya Nika Lusiyana
Always Beside Me

Matahari mulai beranjak turun, gumpalan awan ceria berjalan perlahan, melewati setiap detik yang berharga, melewati segenap kenangan di atas teratai Shirakaba. Seorang laki-laki tengah menyipitkan matanya dan melihat keadaan sekitar, keningnya berkerut. 2 detik kemudian bibirnya tersenyum dan tangannya menggerak-gerakkan sesuatu yang dipegangnya. Pandangannya beralih ke sesuatu yang ada di depannya, sebuah kanvas di atas papan, samar- samar sudah terlihat sketsa Danau Shirakaba yang indah. Baru setengah pekerjaan, pikirannya sudah merasa lelah. Ia pun menghentikan lukisannya. Dengan malas, ia membereskan semua alat lukisnya.

Laki-laki itu mendekati sebuah kursi yang ada di tepi danau setelah menyimpan barang-barangnya di penitipan barang. Ia berdiri tepat di depan kursi, kemudian menjejalkan tangannya ke dalam saku jaket. Dilihatnya air danau yang berkilauan karena tertimpa cahaya matahari sore. Ia melihat bayangan dirinya sendiri yang terpantul di sana, kemudian tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Tak lama setelah bosan memandangi air danau, laki-laki tersebut menjatuhkan dirinya ke kursi. Raut wajahnya berubah, ada sesuatu yang berat menggelayuti pikirannya. Beberapa kali ia mendesah keras, lalu mendecakkan lidahnya. Ia merasa tak pernah segelisah ini, ‘benarkah aku harus begini? Benarkan laki-laki itu akan menepati janjinya, tak akan menyakiti seseorang yang penting baginya?’ Pertanyaan demi pertanyaan terus menyerang otaknya.

Namun semua itu lenyap begitu saja, saat tetes-tetes air dari langit menyentuh rambut dan wajahnya. ‘gerimis….’. Ia pun langsung mencari tempat yang teduh dengan langkah santai sementara orang di sekelilingnya sibuk berlarian mencari tempat yang tak terkena air hujan. Senyumnya mengembang, agaknya suasana seperti ini dapat melupakan kegelisahannya untuk sementara.

Akhirnya ia memilih berteduh di bawah pohon yang terdapat di sekeliling kawasan danau. Saat berteduh, kesadarannya tenggelam lagi dalam pikiran yang membuatnya begitu lelah, kesadaran bahwa ia akan terus menjauhi sesuatu yang begitu penting dalam hidupnya. Dan pada saat itu, muncul pertanyaan dalam benaknya, pertanyaan yang mampu membuat dadanya begitu sesak. ‘dan apakah aku akan bahagia jika aku terus saja melihatnya dari jarak yang begitu jauh? Bukankah ini sesuatu yang paling tidak ku inginkan? Lalu apa yang harus kulakukan?’ tanyanya dalam hati.

Waktu terus berjalan cepat dimatanya, rintik hujan sudah sedikit mereda. Ia merentangkan tangannya dan menghirup udara
dalam-dalam lalu menghembuskannya. Warna-warni pelangi di langit yang begitu cantik, membuat wajahnya sungkan berpaling. Ia terus saja memandanginya, walau kini warnanya kian memudar. Entah kenapa, dirinya merasakan ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Ya… Sesuatu yang tak pernah terpikir olehnya.

‘benar,. Aku bisa.. Aku bisa melakukannya,. Tapi akankah ini berhasil? Yes, why not?’ Seulas senyum tersungging di bibirnya. Bukan karena ia senang, tapi karena ia baru menyadari bahwa memang awalnya ia sudah menyerah dan iapun menyadari pula bahwa dirinya telah bangkit kembali di sore yang begitu indah. ‘yea…h untungnya waktu tak berhenti saat aku telah menyerah’

Cerpen Karangan : Nika Lusiyana
Facebook : Haruka Yuzu
Anda Sedang membaca Cerpen

Always Beside Me

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Nika Lusiyana Facebook : Haruka Yuzu Cerpen Karangan Nika Lusiyana Lainnya

Keping Hati Di Senja

Karya Nika Lusiyana
KEPING HATI DI SENJA

Semburat jingga di sudut langit memantul ke air danau. Menghias bias bayangan diriku dan haruka yang juga ikut terpantul. Angin lembut menghembus wajah kami, dan menerbangkan desah jiwa kami. Berat.
Kupandang wajahnya, yang dingin seperti biasanya. Sebersit ingatan tentang malam kemarin, membuat dadaku kembali terasa sesak. Sadarkah ia yang telah memeluk kakakku kemarin, dengan tulusnya… Aku tau, Haru belajar di Perancis seperti kakakku. Kini keduanya di Jepang, bersamaku. Dan aku, mulai mengerti bagaimana jalan cerita ini, layaknya alur roman yang sendu.

Haru menatapku, membuatku bergetar dan ingin menjauh darinya. Tapi cercah cahaya itu berkata lain, seakan mengikat kami dalam satu hubungan yang rumit. Kau milik Mizuka, tak sepantasnya kau bersikap seperti ini padaku. Kau membuatku kembali bingung dengan putusanku untuk menjauhimu. Tolong, berhentilah dengan sikapmu ini. Teriakku dalam hati.

Haruka diam, seakan begitu menikmati senja bersamaku. Sakit ini, serasa tak bisa kutahan lagi. Aku menangis tanpa sadar di sisinya, di sisi Haru. Tetes tetes itu mulai meleleh, mengalir di pipiku dengan cepat. Sementara kualihkan pandangan ke depan tanpa menatapnya.

Tap…
Semua gelap, hitam. Mataku, tertutup oleh sentuhan tangan itu. Ya, Haru menutup mataku dari belakang. Dan tak pernah kurasakan sentuhan paling tulus, selain sentuhannya.
“Biarkan seperti ini, Yuzu. Biarkan jemariku yang menghapusnya. Maaf, aku tak mampu melindungi wajahmu dari air mata sendu ini. Maaf dan maaf” desah Haru di belakangku.
Terkejut, mungkin aku. Tapi entahlah, aku hanya merasa nyaman dengannya meski aku tau Haru tak mungkin menjadi milikku. Pikirku saat itu, tanpa tahu apa yang Haru pikirkan.

Senja kian tenggelam, lilin lilin tegak itu kehabisan cahaya. Berangsur redup dan hilang. Aku kembali tenang, bersama Haru yang telah berada di sampingku. Mata kami, menatap cahaya langit senja. Menatap lukisan alam mega-mega abstrak. Membuat siluet tentang dua remaja yang beradu pikiran tanpa mengetahui pikiran yang lainnya. Yang saling memendam rasa dan memendam cinta.

Sepoian angin senja sedikit bertambah kencang. Dan seketika itu, tetesan air langit mulai jatuh dan berguguran. Membasahi kami dengan kesejukannya, menerpa kami dengan ketenangannya. Menyadarkanku, bahwa gerimis ini tak mungkin untuk diangkat kembali ke atas sana, seperti kisahku bersama Haru yang tak mungkin dapat dihapus, dan dimulai kembali dengan lebih baik.

Haru-san… Desahku dalam hati.
Yuzuka-chan…. Ucap Haru dihati, tanpa sedikitpun kutahui.
Kuharap, kau selalu berada disisiku, seperti ini….
Kuharap, kau selalu berada disisiku, seperti ini….
Seperti kau yang tadi menghapus air mataku…
Seperti kau yang tengah menemaniku saat ini…
Walaupun aku tahu, ini hanya akan menjadi harapan belaka, Haru san…
Tapi, aku yakin ini tak akan menjadi harapan yang sia sia Yuzu san…
Semoga, kau bahagia bersama kakak…
Kita akan bahagia saat tiba waktunya nanti…
Lupakan aku, Haru san…
Tunggulah aku, Yuzuka chan…

Jingga di senja kala, telah lenyap termakan gelapnya malam. Meski begitu terang bulan di atas menggantikan cahaya mentari yang hilang. Aku menatap samar wajah lelaki disampingku ini. “bisakah kita pulang Haru-san?”
Haruka yamazaki menoleh, dan ia tersenyum tipis.

Cerpen Karangan : Nika lusiyana
Facebook : Haruka yuzu
Aku hanya seorang anak SMP yang belajar bagaimana membuat semua terasa lebih indah dan lebih diingat.
Anda Sedang membaca Cerpen

Keping Hati Di Senja

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Nika Lusiyana Facebook : Haruka yuzu Cerpen Karangan Nika Lusiyana Lainnya

Kategori

Kategori