Cerpen Pagi Kuning Keemasan

*Pagi Kuning Keemasan*
Karya Ruri Alifia R
Pagi Kuning Keemasan

“Badrol! Yok cari karang!” Seru Kentang pada sohib akrabnya yang kini tengah menengadahkan kepalanya mengarah ke mercusuar. Melihat kawannya tak merespon, Kentang-pun setengah berteriak, “Woy! Lihat apa pula kau?”

“Tak-tak ade, Tang. Yok, udah. Kite cari udang sekarang!” Ucapnya terkejut karena mendadak tersadar dari lamunannya. Gadis teropong itu.. Kemane?

Sempurne kali pagi ini. Batin Badrol menikmati emasnya langit yang terpayung penuh oleh kuning mentari. Selaksa langit tanpa awan seolah memberi daya magis memesona. Maniknya nyaris tak berhenti mengagumi keindahan alam sang pencipta. Dilengkapi dengan indahnya Pulau Lengkuas yang tergambar sempurna melalui kornea matanya. Sungguh sempurne, tak ade yang berubeh. Semua masih kayek dulu.

Sejauh mata memandang, penyelam muda itu terhipnotis dengan jernihnya laut biru yang menguning karena permukaannya tersapu pancaran mega dunia. Bola matanya sekan tak bosan menjelajahi pertunjukkan terumbu karang yang akan selalu nampak indah alami di bawah sana. Dengan bermacam-rupa ikan yang menari-nari bersama kawanannya. Benar-benar momen yang selalu sanggup mengobati kerinduan hatinya terhadap seseorang di atas sana.

Baik, sudah waktunya ia mengusaikan kekaguman akan hamparan pemandangan elok di depannya. Dirinya harus kembali pada tujuan awalnya. Apalagi tujuan Badrol kemari kalau tak menyelam mencari karang?

Badrol mulai pemanasan ringannya. Beberapa gerakan tapi tiba-tiba berhenti saat menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku saat itu juga..

Kamera? Batin Badrol mendapati sebuah lensa besar-panjang di salah satu jendela mercusuar. Ketajaman matanya bergerak cepat meneliti benda itu lagi. Amboi, siapa gerangan yang sudi bangun di pagi buta seperti ini serta rela menaiki beribu tangga rumit hanya untuk mencapai salah satu jendela sempitnya? Sejenak, fikiran pemuda itu melayang kembali ke masa dulu. Saat sang ibunda masih menjadi penjaga abadi menara tua itu.

Dulu Badrol tinggal bersama ibunya di Pulau Lengkuas menawan ini. Sebenarnya mereka tak hanya hidup berdua. Ayahnya sempat menemani tahun-tahun pertama Badrol duduk di sekolah dasar hingga akhirnya pergi meninggalkan dirinya serta sang bunda dengan membawa paksa adik bayinya yang saat itu masih berumur lima tahun. Sampai sekarang, ia yang telah hidup sendiri selama bertahun-tahun masih tak tahu bagaimana kabar ayah dan adiknya tersebut. Sungguh ironi. Seorang pemuda berumur lima belas tahun sepertinya harus menanggung semua biaya hidup sendiri, sebatang kara tanpa seorangpun peduli.

Perempuan? Bantinnya lagi saat ia mendapati wajah tersembul setelah kamera tersingkirkan dari mata sang fotografer. Seketika, jantungnya berhenti berdetak.. Matanya membelalak lebar.. Ia seperti merasakan sesuatu hangat tentang kabar bahagia yang entah mengapa terbesit begitu saja dalam benaknya. “Kalo pagi menguning emas ade perempuan naik ke mercusuar itu sendiri.. Pertanda-lah, itu, Drol..” Kalimat terakhir ibunya terngiang lagi dalam fikiran lelaki itu.

Pertande? Pertande ape? Oh, ayoleh. Badrol memang sama sekali tak percaya dengan ‘keajaiban.’ Lebih baik membuka mata bagi yang nyata-nyata saja daripada terlarut dalam awang-awang dunia khayal.

Brenti berfiker yang tak-tak, Drol! Jangan kau rusak pagi sempurne ini! Pemandangan indah ini-merupakan satu-satunya hal yang dapat mendekatkan Badrol dengan sang ibu. Momen favoritnya dikala matahari berpijar sempurna. Yang mana dulu, adiknya dan dirinya sendiri lahir di saat seperti ini. Sebuah pagi kuning keemasan yang selalu sanggup mendamaikan hatinya.

Ibu, andaikan kau di sini…

“Drol!” Lagi-lagi Kentang mengagetkan Badrol. Membuyarkan lamunannya yang masih terarah pada bangunan tua tinggi menjulang di darat sana. Badrol terkesiap. Hampir saja hasil tangkapannya kabur lagi. Oh tidak, ia masih memikirkan gadis teropong itu. Menghubung-hubungkan kalimat almarhumah ibunya dengan apa yang dilihatnya kemarin.

“Oh ye-ye, Tang. Balik tak? Sudeh banyek nih.”

“Ckckck, kau tak sehat, Drol.” Ucap Kentang mengejek yang hanya disahut kekehan kecil oleh Badrol. “Drol?”

“Iye ape?” Jawab Badrol saat mereka mulai menghitung hasil tangkapan di atas pasir.

“Kau punya adik perempuan?” Seketika Badrol terkejut mendapati Kentang bertanya demikian. Manik kawan Badrol itu nampak nanar melihat sesuatu di belakangnya.

“Ini Kak Badrol?” Ucap seorang gadis muda tepat saat pemuda penyelam itu menolehkan kepala ke belakang. Dan ia mendapati.. Ia mengenali gadis itu! Seorang adik kecilnya yang kini telah berubah mencadi wanita cantik modern dengan titisan wajah sang ibu. Tanpa berkata apapun, buru-buru Badrol peluk adik kesayangannya itu. Sekitar sepuluh tahun mereka berdua terpisah dan selama itu pula Badrol menjalani hidupnya sendiri tanpa seseorangpun di sampingnya. Tapi kini.. Semua seakan mimpi. Ia bahkan tak percaya bisa bertemu lagi dengan satu-satunya saudara yang ia miliki.

Ibu, kau selalu benar. Itu memanglah pertande. Pagi kuning keemasan itu pertande. Pertande kudapat kembali lagi kebahagiaan itu.

Cerpen Karangan : Ruri Alifia R
Anda Sedang membaca Cerpen

Pagi Kuning Keemasan

SEMOGA ANDA SENANG MEMBACANYA
Karangan : Ruri Alifia R Cerpen Karangan Ruri Alifia R Lainnya


EmoticonEmoticon